Bisnis.com, JAKARTA - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai terdapat kesamaan visi dan misi kebijakan luar negeri yang dimiliki dua pasang calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Persamaan itu, menurut Kepala Departemen Hubungan International CSIS Shafiah Muhibat terlihat dari masih digunakannya doktrin politik luar negeri bebas aktif dalam proyeksi kebijakan.
, yang artinya Indonesia akan mengedepankan sikap tidak memihak pada blok tertentu dan berdaulat penuh dalam menentukan posisi di perpolitikan internasional serta turut aktif memelihara perdamaian dunia.
"Dari pemaparan tim kampanye masing-masing calon tadi terlihat bahwa jargon politik 'bebas aktif' masih digunakan, belum ada doktrin baru yang membuat kita tidak menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif," kata Shafiah dalam diskusi publik arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia 2019-2024 di Jakarta pada Rabu (21/11/2018).
Padahal, lanjut Shafiah, doktrin tersebut berpotensi menjadi alasan bagi Indonesia untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang tegas terkait isu-isu penting yang berkembang di kawasan maupun global.
Contohnya adalah posisi Indonesia dalam sengketa Laut China Selatan yang melibatkan klaim antara China dan sejumlah negara Asia Tenggara. Kendati terlibat dalam proses negosiasi pihak yang bersengketa, Shafiah menyebut hingga saat ini Indonesia tidak menunjukkan sikap yang tegas soal posisinya dalam penyelesaian sengketa.
Baca Juga
Doktrin politik bebas aktif pertama kali dirumuskan oleh Mohammad Hatta 70 tahun silam sebagai kompas kebijakan Indonesia di tengah kondisi global yang terpolarisasi.
"Doktrin tersebut juga banyak dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri saat itu yang membuat Indonesia belum mampu untuk membuat suatu terobosan yang lebih besar dalam kebijakan luar negeri, sehingga kita cenderung menyatakan diri bebas dan aktif," sambung Shafiah.
Persamaan lain yang menjadi sorotan CSIS adalah kedua calon sama-sama menjadikan landasan politik bebas aktif hanya berdasar pada kondisi global saat ini. Padahal visi dan misi tersebut adalah proyeksi kebijakan luar negeri untuk 5 tahun ke depan.
"Program dan rencana kebijakan untuk 5 tahun ke depan cenderung melihat kondisi global saat ini dan minim sekali melihat dinamika ke depan, padahal dinamika kawasan dan di dunia berkembang sedemikian cepat," kata Shafiah.