Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gempa Palu: Kesaksian Bos Radar Sulteng yang Kantornya hanya 100 Meter dari Pantai

Warga Kota Palu, salah satunya Murtalib Rasul (Pemimpin Redaksi Harian Radar Sulteng), merasakan dahsyatnya gempa besar 7,4 Skala Richter (SR) yang baru saja terjadi. Dan tak lama kemudian diikuti dengan gelombang tsunami.
Suasana pemukiman yang rusak akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9). /Antara
Suasana pemukiman yang rusak akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah , Sabtu (29/9). /Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Sebagaimana biasanya, Jumat sore itu (28/9/2018) menjelang masuknya waktu Salat Maghrib, hampir seluruh warga Kota Palu berada di rumah masing-masing bersama keluarganya, bersiap-siap menunaikan salat.  

Seusai panggilan azan berkumandang,tanah bergoyang dengan kencangnya. Seisi rumah pun jatuh berserakan dari tempatnya semula.

Warga Kota Palu, salah satunya Murtalib Rasul (Pemimpin Redaksi Harian Radar Sulteng), merasakan dahsyatnya gempa besar 7,4 Skala Richter (SR) yang baru saja terjadi. Dan tak lama kemudian diikuti dengan gelombang tsunami.

Melalui layanan berbagi pesan, WhatsApp Group (WAG), Murtalib menuliskan suasana panik dan mencekam yang dialaminya saat kejadian tersebut. Berikut kisahnya:

Musibah bencana alam tidak bisa diprediksi. Datangnya tiba-tiba. Pergi meninggalkan derita. Seperti itulah yang dialami tim Radar Sulteng yang kantornya berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai.

Pemimpin Redaksi (Pemred) Radar Sulteng Murtalib menceritakan, saat-saat gempa mengguncang dan selama tiga hari kemudian, dirinya mencari adik, keponakan, tim redaksi, termasuk pemimpin perusahaan yang keberadaannya hingga sekarang belum diketahui.

Waktu itu Jumat (28/9) pukul 18.10 dan azan Maghrib baru selesai berkumandang. Saya bersama anak saya, baru selesai pakai sarung dan hendak menuju Masjid Nurul Amin yang berjarak sekitar 200 meter. Tiba-tiba terdengar suara geleduk. Kaki saya terangkat dan terbanting. Suasana gelap gulita.

Sekilat itu, saya langsung menarik anak saya yang berusia hampir 7 tahun tersebut. Tidak ingat lagi berapa kali jatuh bangun untuk bisa keluar dari rumah. Istri saya juga histeris dan lari duluan ke luar rumah. Malam itu suasana Kota Palu kacau. Masing-masing menyelamatkan diri.

Isu tsunami seketika membuat orang panik dan lari. Saya pilih bertahan dan berusaha tidak panik. Kondisi lalu lintas di
hampir semua jalan padat merayap dengan bunyi klakson kendaraan. Anehnya, isu tsunami dari dua arah berlawanan. Satu dari pantai dan satunya dari Danau Lindu. Sekitar dua jam berlalu.

Wilayah tengah Kota Palu termasuk tidak begitu kena dampaknya. Hanya, gempa terus terjadi dengan intensitas keras dan lemah.

Setelah semua keluarga menurut saya aman, barulah saya berusaha mengontak rekan-rekan di kantor. Termasuk, pimpinan Radar Sulteng dan Radar TV Palu, H Kamil Badrun. Semua nomor handphone tidak aktif. Sesekali kawan Jawa Pos mengontak saya, tapi tidak terdengar suara.

Grup WA internal Radar Sulteng juga tidak aktif. Saya putuskan Radar Sulteng tidak terbit karena kondisi gelap dan jaringan telekomunikasi terputus. Terlebih, kantor Radar Sulteng berlokasi sekitar 100 meter dari pantai.

Keesokan paginya, Sabtu (29/9), saya langsung mendatangi rumah Manajer Umum Fahmi Laguliga di Pegunungan Talise. Alhamdulillah, dia sekeluarga selamat. Pagi itu juga kami berdua melihat kantor Radar Sulteng. Alhamdulillah, puji syukur, kondisi dari luar utuh. Hanya, di bagian dalam, mulai lantai 1 hingga 3, isinya berantakan. Ada plafon yang jebol. Dinding retak-retak.

Hanya kondisi dalam percetakan yang belum saya ketahui karena terkunci. Di halaman belakang kantor, beberapa mobil
tersangkut. Beberapa mayat belum dievakuasi. Ngeri sekali. Sebab, bagian belakang kantor yang sebelumnya ditempati banyak kafe dan rumah penduduk menjadi bersih, bekas disapu tsunami.

Dari pengakuan Sobirin, kru Radar TV yang saat kejadian bertahan di kantor, kawan-kawan dari Radar Sulteng maupun Radar TV langsung semburat dan menyelamatkan diri. Yang lari ke dataran tinggi dipastikan selamat. Untuk yang lari ke jalur pantai, belum diketahui nasibnya.

Hingga Minggu (30/9), di antara 25 kru redaksi Radar Sulteng, baru sebagian kecil yang saya ketahui selamat. Saya
berdoa, semoga semua selamat. Ada tiga kru yang memiliki rumah di pinggir pantai. Yakni, Sudirman, Taswin, dan Irawati. Tiga rumah kru Radar Sulteng tersebut tersapu tsunami. Bagaimana nasib mereka? Wallahualam.

Keberadaan Mugni Supardi, juru kamera yang suka wira-wiri di kantor, kabarnya, juga belum diketahui. Saya belum sempat
mencari ke lokasi pengungsian di dataran tinggi yang ditempati begitu banyak manusia. Sekali lagi, mudah-mudahan semua kawan-kawanku selamat, ikut di antara masyarakat yang mengungsi.

Setelah seharian keliling kota dan mengantar rekan-rekan Jawa Pos ke lokasi-lokasi yang terisolasi, saya juga berusaha
mencari jejak adik saya yang bernama Nur Imamah bersama anaknya, Asyifa (6), yang hilang sejak hari pertama gempa. Kebetulan, adik saya itu bekerja di PT Jasa Raharja Sulteng. Ada juga tim Jasa Raharja yang turut membantu pencarian. Hasilnya masih nihil.

Saat ini yang mendesak diperlukan pengungsi adalah kebutuhan makanan, tenda, listrik, dan jaringan telekomunikasi. Memasuki hari keempat setelah bencana, yakni Senin hari ini, belum ada media lokal yang terbit di Palu. Semoga cepat ada perbaikan sarana dan prasarana umum. Saya juga berdoa, semoga tidak ada gempa susulan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yusran Yunus
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper