Bisnis.com, JAKARTA – Presiden RI Joko Widodo dan sejumlah kementerian diminta menjalani putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya yang mengabulkan gugatan 7 perwakilan masyarakat atas klasifikasi perkara Kebakaran Hutan.
Perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap Masyarakat Kalimantan Tengah dinyatakan menang oleh Majelis Hakim PN Palangkaraya setelah dalam amar putusannya mengabulkan gugatan perkara No. 118/Pdt.G/LH/2016/PN Plk, yang diputuskan pada 22 Maret 2017 lalu.
Ada pun kementerian yang turut sebagai tergugat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah.
Dalam perjalanan waktu, pemerintah pusat melakukan upaya banding tetapi kalah dan dilanjutkan saat ini bakal mengajukan kasasi.
"Sebaiknya pemerintah mencabut kasasi itu karena keputusan pengadilan sudah merupakan tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak warga negara yang terdampak asap karena kebakaran hutan dan lahan," kata Arie Rompas salah satu penggugat kepada Bisnis melalui sambungan telepon, Kamis (23/8/2018).
Arie yang merupakan Team Leader Forest Campaigner Greenpeace ini bersama 6 perwakilan masyarakat lainnya menggugat Presiden Jokowi dalam gugatannya sebagai Citizen Law Suit itu mengharapkan tergugat langsung menjalani sebagian tuntutan yang dikabulkan Majelis Hakim PN Palangkaraya.
Ada pun tuntutan yang dikabulkan tersebut a.l; menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, PP tentang tata cara penyelenggaraan kajian lingkungan hidup strategis, PP tentang baku mutu lingkungan mencakup baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tuntutan berikutnya, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, PP tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup, PP tentang analisis risiko lingkungan hidup, PP tentang tata cara penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dan PP tentang tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Arie mengatakan, tuntutan itu bermula dari peristiwa karhutla yang terjadi berulang kalau setiap tahun sejak 1997 hingga puncaknya pada 2015, perlu gerakan dari masyarakat yang menderita akibat asap yang muncul untuk menggugat secara hukum terhadap pemerintah.
"Tuntutan lain kepada Kemenkes, supaya membangun rumah sakit paru-paru, menggratiskan pengobatan medis terhadap masyarakat terdampak asap. Pemerintah hanya menindaklanjuti pembentukan Badan Restorasi Gambut, sementara penindakan hukum atas perizinan di atas lahan gambut tidak dilakukan. Banyak izin diberikan di atas lahan gambut tidak ditindak yang membuat gambut menjadi kering dan mudah terbakar," kata dia.
Arie mengatakan, memang pemerintah telah menerbitkan sejumlah PP setelah terjadinya karhutla pada 2015 dan PP ketika proses hukum perkara di PN Palangkaraya sedang berlangsung. Namun, imbuhnya, beleid-beleid itu tidak tidak cukup.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Ruandha Agung Sugardiman menanggapi tuntutan tersebut melalui siaran pers KLHK.
Ruandha mengatakan, setelah peristiwa karhutla 2015 di Kalteng, pemerintah menerbitkan sejumlah PP seperti tentang kriteria baku kerusakan mencakup kerusakan biomassa, terumbu karang, mangrove, seagrass dan terakhir ekosistem gambut melalui PP No. 57/2016 tentang Gambut.