Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan ahli hukum tata negara berbeda pendapat menyikapi periode pemberlakuan larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD.
Perbedaan itu dilatarbelakangi pertentangan tafsir ihwal masa pendaftaran bakal calon senator di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di satu sisi, KPU telah menutup pendaftaran pada 11 Juli 2018, sedangkan di sisi lain verifikasi hingga penetapan daftar calon tetap (DCT) berlangsung sampai 20 September 2018.
Adapun, larangan pengurus parpol masuk DPD dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018. Dengan demikian, putusan tersebut dibacakan setelah melewati masa pendaftaran KPU.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti berpendapat larangan tersebut berlaku bagi calon anggota DPD periode 2019-2024. Sesuai pertimbangan Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018, KPU dapat meminta bakal calon anggota DPD menyerahkan surat pengunduran diri sebelum ditetapkannya DCT.
“DCT kan 20 September. Jadi sebenarnya secara teknis masih ada yang bisa dilakukan sampai 20 September untuk memastikan putusan MK dilaksanakan,” tuturnya di Jakarta, Sabtu (28/7/2018).
Bivitri mengaku telah dimintai pendapat oleh KPU mengenai penjelasan putusan MK. Kepada KPU, dia mengatakan surat pernyataan mundur dapat diproses pada saat verifikasi bakal calon. Bila tidak diserahkan maka sang pengurus parpol harus dicoret alias tidak masuk DCT.
“KPU sebenarnya sudah yakin, tapi kami dorong keyakinannya,” ujarnya.
Bivitri mengingatkan setiap putusan MK bersifat mengikat dan langsung berlaku saat pengucapannya. Karena itu, penyelenggara negara harus mengeksekusi putusan sebagai wujud pelaksanaan kewenangan konstitusional.
“Kalau KPU tak patuh malah melanggar hukum. Jika ada risiko orang-orang tak setuju, bisa disengketakan ke Badan Pengawas Pemilu kalau nama mereka dicoret,” katanya.
Di tempat terpisah, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpandangan masa pendaftaran bakal calon anggota DPD sudah resmi ditutup pada 11 Juli.
Mantan Menteri Sekretaris Negara ini tidak setuju definisi masa pendaftaran meliputi verifikasi bakal calon hingga penetapan DCT.
Apalagi, para pendaftar sudah melampirkan sejumlah persyaratan saat masa pendaftaran. Menurut Yusril, bila terjadi perubahan regulasi maka aturan yang diterapkan adalah yang paling menguntungkan.
“Lebih baik dilaksanakan 2024. Kalau sekarang dilaksanakan bagaimana? Putusan MK tak berlaku surut,” katanya usai sidang sengketa pilkada di Jakarta, Jumat (27/7/2018).
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman memastikan masukan dari para pihak akan dibahas di internal lembaganya. Revisi, kata dia, bakal dimasukkan dalam PKPU No. 14/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Awalnya, UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) membolehkan kader sebuah parpol untuk menjadi anggota DPD. Namun, Pasal 182 huruf l beleid tersebut juga mencantumkan kesediaan anggota DPD untuk tidak bekerja dengan sebagai akuntan, advokat, notaris, dan ‘pekerjaan lain’ yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD.
Padahal, putusan-putusan MK terdahulu telah menegaskan DPD bukan representasi parpol yang ditunjukkan dengan larangan bagi pengurus parpol menjadi anggotanya. Pertimbangan putusan itu adalah demi mencegah terjadinya distorsi politik berupa lahirnya perwakilan ganda mengingat parpol telah diwakili dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Bakal calon anggota DPD Muhammad Hafidz menilai ketentuan tersebut diabaikan dalam keanggotaan DPD periode 2014-2019. Faktanya, sebanyak 78 dari 132 anggota DPD pada 2017 menjadi kader parpol dan sebagian lagi duduk sebagai pengurus.
Hafidz lantas menggugat Pasal 182 huruf l UU Pemilu karena keberadaan frasa ‘pekerjaan lain’ memungkinkan pengurus parpol mendaftar sebagai calon senator. Dia meminta penegasan kepada MK agar ‘pekerjaan lain’ yang terlarang bagi calon anggota DPD itu mencakup pula pengurus atau fungsionaris parpol.
Permintaan itu kemudian dikabulkan lewat Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018.