Kabar24.com, JAKARTA — Pakar hukum tata negara yang juga dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai Partai Persatuan Indonesia (Perindo) tak memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam uji materi Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
“Menurut saya tak punya legal standing Perindo-nya. Biasanya MK menurut UU MK dan Peraturan MK itu bilang bahwa yang punya legal standing itu yang punya kepentingan khusus yang akan mengalami kerugian konstitusional kalau undang-undang yang diujikan itu tetap dinyatakan berlaku. Dan ada hubungan kausalitas yang bisa ditunjukan,” ujarnya dalam sebuah acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018).
Dia menyebut Partai Perindo sebetulnya tidak bisa mengajukan calon wakil presiden karena sebagai partai baru tidak memenuhi syarat ambang batas pencalonan. Sehingga, perkara tersebut sebenarnya tidak berpengaruh bagi partai besutan taipan Hary Tanoesudibjo itu.
Sebelumnya Partai Perindo pada Rabu (18/7/2018) melakukan uji materi terhadap regulasi tersebut tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden, terutama frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 tahun".
Dalam pengajuan uji materinya, Partai Perindo beralasan bahwa frasa pada Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu untuk mengajukan kembali Jusuf Kalla atau JK sebagai calon wakil Presiden Joko Widodo pada pemilu 2019.
Berselang dua hari dari pendaftaran gugatan Partai Perindo tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla diketahui mengajukan diri ke Mahkamah Konstitusi atau MK, sebagai pihak terkait dalam uji materi terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu.
Baca Juga
Terkait hal itu, Bivitri menilai Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sebenarnya memiliki legal standing. Namun seperti diketahui, Jusuf Kalla atau JK dalam masalah ini bukan pemohon.
“Nah yang dilihat dari hukum acara Mahkamah Konstitusi itu legal standing dari pemohonnya. Untuk legal standing itu menentukan apakah akan diperiksa pokok perkaranya atau tidak. Jadi yang dilihat itu siapa yang memohonkan. Apakah mengalami kerugian konstitusional kalau terkait dengan pasal itu,” ujar Bivitri menjelaskan.
Dia pun mengkritisi waktu dari proses uji materi yang tidak wajar. Sebabnya, uji materi itu seakan-akan disesuaikan dengan tenggat waktu pendaftaran calon presiden dan wakilnya hingga pada 10 Agustus mendatang.
Biasanya, kata dia, prosesnya akan lama.sampai putusan akhir dikeluarkan. Hakim konstitusi biasanya akan mengundang pemohon menyampaikan argumen. Kemudian dijadwalkan lagi beberapa pekan seperti untuk mendengarkan keterangan ahli.
Bahkan jika pihak terkait mengajukan juga tenaga ahli, hal itu akan memakan waktu hingga sepekan. Baru kemudian para hakim konstitusi akan bermusyawarah secara tertutup.
“Karena mereka akan berdebat setelah itu baru diumumkan. Nah kalau secara rata-rata dari penelitian kode inisiatif itu setahun. Memang begitu suka dikritik. Tapi tergantung hakimnya juga karakter hakimnya sekarang begitu,” ujarnya.
Dia mencontohkan, memang sebelumnya yaitu pada 2008 uji materi di MK sempat berjalan relatif singkat. Saat itu, ada permohonan bahwa pemilih dalam pemilu dapat dilakukan dengan menunjukan KTP saja.
Saat itu Ketua Hakim MK Mahfud MD memutuskannya dalam waktu cepat karena menyangkut kepentingan banyak warga negara Indonesia.