Bisnis.com, JAKARTA—Pakar hukum tata negara yang juga pendiri dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai uji materi Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jika diloloskan Mahkamah Konstitusi akan merusak sistem yang ada.
Jika uji materi itu dikabulkan membuka kembali peluang Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengikuti kontestasi pemilu presiden 2019.
JK sangat mungkin kembali menjadi pasangan Presiden Joko Widodo karena jika kedua tokoh itu dipasangkan, memiliki elektabilitas politik tinggi yang sulit diimbangi rival politiknya.
“Kita bicara soal kontitusi, itu adalah aturan yang sangat mendasar. Kalau diubah interpretasinya, ke depan akan berubah total. Ini bukan soal Pak JK, bukan anti terhadap seseorang. Tapi sistem yang akan dirusak. Ini akan membuka kotak pandora. Pembatasan terhadap sebuah jabatan publik sudah dibatasi sebenarnya, akan dipermasalahkan lagi,” kata Bivitri dalam sebuah acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018).
Bivitri menilai, sebenarnya penjelasan masa jabatan presiden dan wakilnya dalam regulasi itu sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika Mahkamah Konstitusi meloloskan uji materi tersebut maka akan mencederai demokrasi yang dibangun pascatumbangnya rezim Orde Baru pada 1998.
Dia menyebut Pasal 169 huruf n dalam UU Pemilu merupakan copy paste dari Pasal 7 UUD 1945. Oleh karena itu, hal ini bisa dikatakan bukan kewenangan MK namun harus melalui amendemen oleh MPR.
Baca Juga
“Kalau dibaca UUD dan UU itu sebenanrya secara gramatikal kalau sebuah teks hukum bisa ditafsirkan secara jelas mestinya kita berhenti di situ. Tidak boleh ada model panafsiran yang berbeda,” terangnya.
Kendati demikian dia pun menilai uji materi tersebut masih bisa diloloskan MK karena ada sembilan hakim yang akan memprosesnya. Walaupun dari sisi keilmuan, kata dia, tak ada alasan yang kuat.
Sebelumnya Partai Perindo pada Rabu (18/7) melakukan uji materi terhadap regulasi tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden. Periondo terutama menggugat frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 tahun".
Dalam pengajuan uji materinya, Partai Perindo beralasan bahwa frasa pada Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu, menghambat partai besutan taipan Hary Tanoesudibjo tersebut untuk mengajukan kembali Jusuf Kalla atau JK sebagai calon wakil Presiden Joko Widodo pada pemilu 2019.
Pangkal sebabnya karena Jusuf Kalla pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009. Pemohon menilai tafsiran frasa "tidak berturut-turut" dalam rumusan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu, tidak sejalan dengan Pasal 7 UUD 1945.
Menurut pemohon, instrumen hukum perundang-undangan tidak boleh membatasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden meskipun telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dua kali masa jabatan yang sama, sepanjang tidak berturut-turut. Oleh karena itu, Perindo meminta MK menyatakan frasa "tidak berturut-turut" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Berselang dua hari dari pendaftaran gugatan Partai Perindo tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla diketahui mengajukan diri ke Mahkamah Konstitusi atau MK, sebagai pihak terkait dalam uji materi terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu itu.