Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terbelit Utang, Merpati Nusantara Airlines Tidak Ingin Mengecewakan Kreditur

PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) tetap berkomitmen untuk mengakomodasi seluruh pihak dalam proposal perdamaian, sehingga bisa terlepas dari belenggu penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Kinerja keuangan PT Merpati Nusantara Airlines periode 2017./Bisnis-Husin Parapat
Kinerja keuangan PT Merpati Nusantara Airlines periode 2017./Bisnis-Husin Parapat

Bisnis.com, JAKARTA – PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) tetap berkomitmen untuk mengakomodasi seluruh pihak dalam proposal perdamaian, sehingga bisa terlepas dari belenggu penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Dengan demikian, maskapai penerbangan itu bisa beroperasi kembali.

Seperti yang disampaikan oleh Kuasa hukum PT Merpati Nusantara Airlines (debitur) Rizky Dwinanto ketika mendapatkan kesempatan pertama perpanjangan 119 hari PKPU tetap, perseroan itu akan fokus mengupayakan reoperasi maskapai Merpati.

Menurut Rizky pada akhir Maret lalu, tujuan utama perseroan adalah agar Merpati Airlines bisa terbang lagi. Oleh karena itu, keberhasilan restrukturisasi utang menjadi jalan satu-satunya.

Kali ini pun, merpati juga tidak ingin mengecewakan para krediturnya dengan membuat proposal perdamaian yang bisa mengakomodasi seluruh pihak.

Dalam masa 45 hari perpanjangan PKPU, kata Rizky, manajemen perusahaan akan membuat substansi yang terbaik di dalam proposal perdamaian yang nantinya akan ditawarkan kepada para kreditur.

“Debitur [Merpati] dan kreditur berbincang panjang di dalam rapat dan disepakati perpanjangan 45 hari. Jadi kami sedang membuat proposal dengan baik-baik. Jangan sampai tidak sesuai keinginan kreditur. Kami tidak ingin terburu-buru tetapi ada harapan supaya Merpati bisa terbang lagi,” kata Rizky saat dihubungi Bisnis, Minggu (22/7/2018). 

Saat ini, jelasnya, perseroan masih menjajaki mitra atau investor strategis yang dinilai potensial untuk menjalin kerja sama dengan Merpati Airlines.

Namun, Rizky belum berkenan menyampaikan identitas pemberi modal tersebut sebelum adanya kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak.

“Kami akan sampaikan kepada masyarakat, tetapi sekarang belum bisa karena masih dalam proses penjajakan dengan mitra ini,” ujarnya. 

Terpisah, salah satu pengurus PKPU PT Merpati Nusantara Airlines Beverly Charles Panjaitan menuturkan bahwa perpanjangan 45 hari yang diajukan oleh Merpati mendapatkan persetujuan dari para kreditur, setelah sebelumnya perusahaan aviasi itu diberikan kesempatan pertama perpanjangan 119 hari PKPU tetap.

“Perpanjangan PKPU lagi sepanjang 45 hari itu karena debitur [Merpati] belum siap dan mereka masih membutuhkan pembahasan finalisasi proposal perdamaian dan penjajakan mitra strategis,” kata dia.

BERHATI-HATI

Senada dengan Rizky, Charles menjelaskan bahwa para kreditur dan debitur dalam pembahasan proposal perdamaian Merpati Airlines sangat berhati-hati supaya debitur maksimal memaparkan cara restrukturisasi utangnya di dalam proposal perdamaiannya.

“Jadi, memang belum ada proposal perdamaian tetapi dari rapat pada Jumat [20/7] itu para kreditur meminta kepada debitur agar memberitahukan kepada kreditur jauh-jauh hari, setidaknya dua minggu sebelum debitur menyerahkan proposal perdamaiannya,” kata dia.   
Berdasarkan penelusuran Bisnis di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya, PT Parewa Aero Katering yang memohonkan PKPU Merpati (debitur).

Perusahaan aviasi milik negara ini resmi berstatus PKPU sejak 6 Februari lalu, dengan register No.4/Pdt.Sus-PKPU/PN.Sby.

PT Parewa Aero Katering merupakan perusahaan jasa makanan yang memasok katering ke maskapai Merpati Airlines. PT Parewa berkantor pusat di Komplek Pergudangan Bandara, Tangerang, Banten.

Kuasa hukum PT Parewa Aero Katering Berlian Simbolon, sebelumnya mengaku lega PT Merpati Airlines mulai merestrukturisasi utang di pengadilan. Pihaknya telah mempelajari bahwa Merpati Airlines bukan murni perusahaan BUMN sehingga permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditur yang memiliki tagihan.

Dalam permohonanya, PT Parewa Aero Katering mengikusertakan dua kreditur lain yakni PT Kirana Mitra Mandiri dan PT Pratitha Titian Nusantara.

Alasan majelis mengabulkan permohonan PKPU lantaran PT Merpati Airlines bukan 100% Badan Usaha Milik Negara. Adapun 10% saham dari perusahaan dirgantara ini turut dimiliki oleh publik, termasuk di dalamnya yaitu PT Garuda Indonesia (Persero).

Dengan demikian, permohonan PKPU PT Merpati Airlines tidak perlu diajukan oleh Menteri Keuangan.

Oleh karena itu, permohonan dari PT Parewa Katering tidak memiliki alasan untuk ditolak berdasarkan Pasal 2 ayat 5 Undang-undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Pasal itu berbunyi dalam hak debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Menelisik ke belakang, PT Pratitha Titian Nusantara merupakan perusahaan yang pernah mengajukan PKPU terhadap Merpati Airlines di PN Jakarta Pusat. Perkara ini terdaftar di Nomor 15/Pdt.Sus-PKPU/2016/PN.Jkt.Pst. Namun, permohonan ini ditolak oleh majelis hakim.

Tak berhenti di situ, PT Prathita mengajukan permohonan serupa dengan No.162/Pdt.Sus-PKPU/2017/PN.Jkt.Pst. Namun, pemohon mencabut permohonannya pada sidang pertama.

Para mantan karyawan Merpati Airlines diketahui juga pernah mengajukan pailit terhadap perusahaannya. Perkara dengan No.4/Pdt.Sus-Pailit/2016/PN.Jkt.Pst ini ditolak majelis dengan dalil pemohon bukan pihak yang berwenang mengajukan pailit terhadap perusahaan BUMN.

Diketahui, total utang Merpati kepada seluruh kreditur mencapai Rp10,03 triliun, dengan perincian kreditur separatis atau dengan jaminan kebendaan mengantongi piutang Rp3,33 triliun. Pemegang tagihan terbesar yang tergabung dalam separatis adalah Kementerian Keuangan dengan nilai Rp2,1 trilun.

Sementara itu, piutang kreditur konkuren (tanpa jaminan) sebesar Rp5,62 triliun. Adapun tagihan dari kreditur konkuren mayoritas dipegang oleh PT Pertamina (Persero) senilai Rp2,6 triliun.

Terakhir, tagihan dari kreditur preferen atau prioritas tercatat Rp1,08 trliun. Kategori ini menampung tagihan eks karyawan dan kantor pajak.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nurbaiti
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper