Kabar24.com, JAKARTA – Serangan perdagangan dari Presiden AS Donald Trump terhadap China, mulai dari ancaman lewat Twitter hingga pembicaraan langsung, mulai memperlihatkan dampak.
Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Managers’ Index/PMI) China untuk Juni yang dirilis pada akhir pekan lalu memperlihatkan permintaan ekspor berkontraksi. Hal itu merupakan tanda yang paling jelas dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perang dagang, yaitu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Adapun mulai Jumat (6/7/2018), kedua ekonomi terbesar di dunia itu akan mulai saling melempar tarif yang lebih tinggi lagi antar satu sama lain.
Hal itu pun menjadi fokus para pembuat kebijakan di Beijing saat ini. Pasalnya, China sekarang menghadapi tugas rumit untuk menyeimbangkan dukungan terhadap ekonominya, yang telah melambat seiring dengan upaya mengendalikan kredit berlebih.
Kendati sektor jasa masih kuat, dengan adanya keinginan untuk melebarkan pembukaan stimulus saat ini, Negeri Panda diperkirakan tetap berada di jalur untuk menyentuh target pertumbuhan sebesar 6,5% pada 2018.
“Perekonomian China akan melambat hingga akhir tahun, namun tidak perlu khawatir dulu. Kuncinya adalah perkembangan dari perdagangan internasional dan perselisihan antara China dan AS,” ujar Zhu Qibing, Kepala Analis Makroekonomi di BOC International China Ltd., Beijing, seperti dikutip Bloomberg, Senin (2/7/2018).
Biro Statistik China (NBS) mencatat, Indeks Manufaktur PMI China berada di level 51,5 pada Juni, turun dari 51,9 pada bulan sebelumnya. Namun, Indeks non-Manufaktur PMI China yang melingkupi sektor jasa dan konstruksi tumbuh ke level 55 pada Juni dari 54,9 pada bulan sebelumnya. Adapun indeks yang berada di atas level 50 mengindikasikan adanya perbaikan.
Sementara itu, sub-indeks untuk permintaan ekspor jatuh ke level 49,8 pada Juni dibandingkan 51,2 pada bulan sebelumnya. Hal itu memperlihatkan adanya penurunan permintaan dari negara lain.
Selain China, berkurangnya permintaan juga terlihat di dalam ekspor Korea Selatan (Korsel) pada Juni. Salah satu penyebabnya adalah faktor musiman, seperti sedikitnya hari kerja. Namun, Korsel merupakan penyuplai utama untuk chip komputer dan komponen lainnya untuk China, yang berkontribusi atas seperempat ekspornya.
Data ekonomi Korsel yang keluar lebih dulu dibandingkan sebagian besar negara lainnya menjadi pengingat awal bahwa kesehatan perdagagan global telah memasuki risiko perang dagang.