Kabar24.com, JAKARTA – Para pemimpin China memberikan sinyal khawatir terhadap pertumbuhan negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Pasalnya, perekonomian Negeri Panda terancam semakin melambat karena risiko perdagangan dan keuangan.
Ekonom menilai, Pemerintah China kini tampak menyiapkan kebijakan untuk menghindari perlambatan tajam yang mengancam.
“Kerja keras dibutuhkan untuk menghadapi target ekonomi tahun ini, di tengah-tengah meningkatnya situasi rumit geopolitik,” tulis media nasional China setelah Presiden Xi Jinping memimpin Rapat Politbiro, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (24/4/2018).
Kendati pertumbuhan ekonomi China masih kuat pada kuartal I/2018, banyak perkiraan yang menilai ekonomi akan melambat tahun ini dibawa sentimen negatif tensi dagang dengan AS dan kampanye pembersihan sektor keuangan Negeri Panda.
Oleh karena itu, Politbiro mengeluarkan pernyataan pertama kali sejak 2015, yaitu untuk meningkatkan permintaan domestik. Investor pun mengartikannya sebagai sinyal untuk meninggalkan kampanye deleveraging.
Hal itu, menurut investor, bisa melonggarkan pengukuran pengetatan jika diperlukan. Adapun saham-saham di Shanghai bergerak menuju rally terbesarnya dalam dua bulan pada Selasa (24/4/2018).
“Terdapat firasat adanya risiko yang terbentang di bawah permukaan tenang. Sikap para pemimpin tampak berubah drastic. Perhatian investor masih terpaku pada stabilitas pertumbuhan ekonomi tercepat sejak 2015.,” kata Deng Haiqing, Kepala Ekonom di JZ Securities Co. di Beijing.
Sementara tensi perdagangan dengan AS telah sedikit reda, pernyataan Politbiro itu mengindikasikan bahwa para pemimpin tengah mempersiapkan langkah pencegahan untuk turbulensi potensial dalam ekonomi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyatakan dalam aksi ‘gencat senjata’-nya di Washington pekan lalu, bahwa dia akan melakukan perjalanan ke China.
Mnuchin optimistis dapat membentuk jembatan yang menghubungkan perbedaan dalam isu perdagangan kedua negara ini.
Xu Jianwei, Senior Greater China Economist di Natixis SA, Hong Kong, menilai, dengan latar ketidakpastian tensi perdagangan dan investasi dengan AS, Pemerintahan Negeri Panda kini sadar akan kesulitan mencapai target pertumbuhan yang telah ditetapkannya.
“Ini sangat signifikan, bukan hanya sedikit pergantian nada [kebijakan],” tuturnya.
Adapun ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan melambat tahun ini menjadi 6,5%, sama dengan target pemerintah. Level itu kemudian akan semakin melambat dalam dua tahun ke depan.
Oleh karena itu, Xinhua News Agency melaporkan, para pemimpin kebijakan dalam Politbiro mendesak dilakukannya reformasi yang lebih berani, upaya yang lebih terbuka, dan implementasi bertahap untuk kebijakan membuka diri perekonomian Negeri Panda.
Begitu pula seiring friksi dengan AS semakin intensif dalam perkembangan industri berteknologi tinggi, dari bioteknologi hingga robotik, Politbiro meminta adanya terobosan dalam pengembangan teknologi inti dan mendukung bisnis industri baru.
Adapun Bank Sentral China (PBOC) juga telah mengurangi tingkat suku bunganya pekan lalu. Alasannya adalah untuk mengurangi gangguan potensial di level likuiditas dan meyakinkan pemberian pinjaman terus berlanjut.
Para pembuat kebijakan juga mengindikasikan dalam beberapa bulan ini bahwa mereka berencana untuk melakukan pengetatan kebijakan fiskal yang akan memberikan ruang bagi pengembangan makroekonomi.
“[Nada Politbiro dan pemotongan suku bunga PBoC) dilakukan mengingat ketidakpastian eksternal di tengah-tengah tensi perdagangan dan pertumbuhan kredit yang lebih cepat dari perkiraan [pada kuartal I/2018),” tulis Robin Xing, Chief China Economist di Morgan Stanley, Hong Kong, dalam laporannya.
Adapun, menurut Head of China Economist di Macquarie Securities Ltd. Hong Kong, Larry Hu, saat ini masih terlalu dini untuk menilai perhatian pejabat pemerintahan terkait arah kebijakannya.
“Saya tidak akan melihat ini sebagai sinyal pemberian stimulus. Kalimatnya adalah ‘mendorong permintaan domestik’ sebagai respons terhadap perselisihan dagang AS-China. China mungkin menyimpulkan saat ini bahwa persellisihan dagang akan menjadi normal yang baru di masa depan,” ujarnya.