Kabar24.com, JAKARTA — Hakim Konstitusi Saldi Isra melontarkan masukan kepada pemohon uji materi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 agar tidak melupakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemangkasan wewenang Mahkamah Kehormatan DPR sebagai penguat dalil gugatan.
“Beberapa pasal yang pernah diuji seharusnya disentuh juga. Bahwa dulu pernah diuji dan setelah diuji muncul lagi,” katanya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU MD3 di Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Sebagaimana diketahui, MK pernah menguji Pasal 245 UU MD3 tentang pemanggilan dan permintaan keterangan wakil rakyat untuk penyidikan harus mendapatkan izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).
Dalam Putusan No. 76/PUU-XII/2014 bertanggal 22 September 2015, MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional dan mengganti izin tertulis MKD menjadi izin tertulis dari presiden.
Namun, DPR kembali mengubah Pasal 245 UU MD3 dengan menghidupkan lagi peran MKD, meskipun hanya sebagai pemberi pertimbangan sebelum presiden memberikan izin tertulis untuk memeriksa anggota parlemen.
Pasal 245 UU MD3 lantas diuji lagi ke MK oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi serta Partai Solidaritas Indonesia masing-masing dalam perkara No. 16/PUU-XVI/2018 dan No. 17/PUU-XVI/2018.
Irmanputra Sidin, kuasa hukum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), mengatakan kliennya tidak mempertentangkan Pasal 245 UU MD3 dengan hak imunitas anggota DPR. Pasalnya, hak imunitas wakil rakyat dijamin secara eksplisit dalam konstitusi.
Namun, dia menolak konsepsi hak imunitas Pasal 245 yang memungkinkan anggota DPR kebal dari tindak pidana umum terkait maupun tidak terkait dengan tugas dan wewenangnya. Padahal, kata Irman, terdapat tindak pidana di luar tugas dan wewenang anggota DPR seperti penganiayaan, pencurian, dan penyuapan.
“Jika hak imunitas diberikan ketika terjadi tindak pidana yang tidak berhubungan dengan tugasnya, proses hukumnya menjadi sulit berjalan,” tutur Irman.
Kamaruddin, kuasa hukum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengungkapkan kecemasan serupa. Menurutnya, Pasal 245 mengesampingkan prinsip keseimbangan antara hak dengan kewajiban di mana hak mesti terkorelasi secara proporsional dengan kewajiban.
Di samping itu, Kamaruddin menilai Pasal 245 diskriminatif dan mengabaikan rasa keadilan. Seharusnya, tutur dia, anggota DPR berkapasitas sebagai warga negara biasa ketika diduga melakukan perbuatan kriminal yang tidak terkit dengan tugas.