Bisnis.com, JAKARTA- Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran meminta segenap pihak mewaspadai praktik politik patrimonial yang bertentangan dengan asas demokrasi.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mengatakan bahwa politik patrimonial mengacu pada sistem regenerasi yang mengutamakan ikatana keluarga atau pewarisan dengan cara menunjuk langsung.
Di era modern, lanjutnya, politik semacam ini masuk secara legal ketika kerabat elite politik disiapkan untuk menggantikan para pemegang kekuasaan.
“Patrimonial harus dilarang karena mengutamakan sistem kekerabatan daripada sistem merit atau prestasi, sehingga menjadikan orang yang tidak kompeten sebagai pemimpin. Setelah tidak menjabat, sang pemegang kekuasaan masih bisa menyetir pemerintahan karena ada kerabatnya yang memegang posisi kunci,” ujarnya, Rabu (7/3/2018).
Dia mengungkapkan, jika sistem semacam ini masuk dalam pemilihan pejabat publik seperti Pemilu baik itu Pilpres, Pileg maupun Pilkada, maka proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik akan jalan di tempat.
Selain itu, jika kuasa patrimonial bertambah besar maka cenderung berperilaku korup atau menyalahgunakan wewenang.
Baca Juga
“Belajar dari kasus Atut di Banten selama berkuasa delapan tahun banyak kerabat yang menempati posisi strategis baik di legislatif maupun eksekutif,” tuturnya.
Pilkada 2018, lanjutnya, juga tidak luput dari politik patrimonial dalam rupa dinasti politik dan terjadi di Sumatra Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara serta Kalimantan Barat. Sementara di tingkat kabupaten atau kota terjadi di Kota Serang, Kabupaten Bojonegoro serta Purwakarta.
Dari berbagai fenomena itu, FITRA meminta penyelenggara Pemilu untuk bertindak profesional dan netral sehingga tidak menjadi alat kepentingan kelompok patrimonial.
Selain itu, KPK pun diminta melakukan pengawasan terhadap calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik karena berpotensi melakukan korupsi untuk melanggengkan kekuasaan.
“Kami juga minta Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap calon kepala daerah yang berasal dari patrimonial politik karena kelompok tersebut menghambat agenda demokrasi yang hakiki,” pungkasnya.