Kabar24.com, JAKARTA – Kontestan pesta demokrasi 2018 dan 2019 didorong beradu gagasan untuk memecahkan masalah ketimpangan ekonomi, bukan malah mendompleng isu itu sebagai trik politik identitas.
Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Sugeng Bahagijo menilai isu ketimpangan cukup menarik sebagai materi kampanye politik.
Kelompok ekonomi marjinal dapat ditarik untuk mendukung kontestan pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, hingga pemilihan presiden.
Celakanya, isu itu bisa membahayakan kemajemukan bangsa andaikan dipakai elite politik untuk menyerang segmen masyarakat tertentu yang dianggap menguasai ekonomi Indonesia. Terkait itu, Sugeng mengajak para elite politik menggunakan isu ketimpangan ekonomi secara lebih bijak.
“Kalau ketimpangan ekonomi mau dibawa secara politis silakan debat soal solusi. Malah ini harus jadi agenda,” kata dia dalam temu pers di Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Sejumlah hasil survei menunjukkan isu ketimpangan menjadi salah satu persoalan paling meresahkan publik.
Baca Juga
Jajak pendapat Media Survei Nasional (Median) 1-9 Februari 2018 bahkan menunjukkan isu kesenjangan ekonomi menduduki peringkat pertama masalah yang harus dipecahkan pemerintah.
Sebanyak 15,6% responden memilih isu itu, mengalahkan harga barang pokok yang tinggi, korupsi, dan tarif listrik.
Sugeng menilai pemerintah tepat menggulirkan program pembangunan infrastruktur untuk menekan ketimpangan ekonomi agar tidak semakin melebar.
Namun, dia mengingatkan pembangunan fisik berkontribusi maksimal 50% untuk mengurangi gap kekayaan warga negeri ini.“Separuh lagi nonfisik seperti regulasi, perlindungan anak, perempuan, dan penyediaan lapangan kerja.”
Selain isu ketimpangan, Infid mengemukakan bahwa ancaman serius bagi kemajemukan bangsa adalah intoleransi.
Perhelatan pemilihan kepala daerah serentak 2018, disusul pemilihan anggota legislatif dan presiden tahun depan terindikasi sebagai ladang subur persemaian bibit-bibit intoleransi.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Infid Totok Yulianto mengaku telah mencermati visi dan misi calon kepala daerah di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Hasilnya, para kontestan pilkada cenderung memiliki visi dan misi standar alih-alih program kerja mentereng.
“Jadi nanti pertarungannya lebih banyak soal-soal indentitas, mengaburkan visi dan misi,” katanya di tempat yang sama.
Untuk itu, Totok meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) lebih sensitif mengawasi sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang pilkada serentak.
Kedua institusi itu harus mengungkap aktor intelektual di balik penyebaran isu primordial baik di media sosial maupun daring.
Totok mengingatkan politik identitas tidak hanya memicu disintegrasi bangsa majemuk seperti Indonesia, tetapi juga berpotensi menghasilkan pemerintahan diskriminatif.
Pasalnya, menurut dia, kebijakan pemimpin setelah terpilih cenderung lebih mengakomodasi para pendukungnya. “Kebijakannya akan menggerus hak kelompok minoritas.”