Kabar24.com, JAKARTA - Sidang kasus korupsi pengadaan proyek KTP-elektronik dengan terdakwa Setya Novanto mengungkap adanya plotting atau penempatan orang tertentu di BPK.
Mantan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo mengungkapkan dirinya mendengar bahwa Setya Novanto menempatkan orang dari Partai Golkar menjadi anggota BPK RI untuk pengurusan audit proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-e).
"Waktu itu memang mau diperiksa dan kebetulan kita lagi diperiksa BPK juga," kata Anang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Hal itu terungkap saat Jaksa KPK memutar rekaman percakapan antara Anang Sugiana Sudihardjo dan Direktur Biomorf Lone LCC, Amerika Serikat Johannes Marliem.
Diketahui, orang yang ditempatkan menjadi anggota BPK RI itu bernama Agung.
"Agung anggota BPK. Saya tidak tahu kalau nama lengkapnya," kata Anang.
Baca Juga
Namun, ia mengaku tidak mengenal Agung karena dirinya hanya mendapat cerita itu dari Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Terus Agung ini "kuning benar" sampai yang masukin si Setya Novanto?" tanya Jaksa KPK Abdul Basir.
"Iya itu saya dengar cerita dari Andi," tuturnya.
Lebih lanjut, ia pun mengakui dari cerita Andi Narogong itu bahwa Novanto lah yang memasukan Agung ke BPK RI.
"Waktu itu kami diperiksa BPK dan tahun-tahun sebelumnya kami selalu disalah-salahkan. Dengan Pak Agung ini kami harapkan karena Pak Andi bilang bahwa itu orang Golkar, orangnya Pak Setnov. Jadi, ya kami harapkan mudah-mudahan dia bisa lebih tidak salahkan kita," ungkap Anang.
Dalam perkara ini Novanto diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e.
Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.
Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.