Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly berjanji akan memperdalam pembahasan pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) agar tidak dianggap multitafsir.
Yasonnah menjelaskan definisi menghina dan mengkritik berbeda. Menurutnya, tidak salah jika seseorang mengkritik pemerintah atau presiden. Akan tetapi, jika menghina itu persoalan personal seorang simbol negara.
“Enggaklah [kalau subjektivitas]. Nanti diatur yang bagus. Kami kan dengar [masukan] semua,” tuturnya di Komplek Istana Kepresinan, Selasa (6/2/18).
Selasa (6/2), DPR menggelar rapat membahas RUU KUHP dengan pemerintah. Rapat itu membahas isu-isu yang masih tertunda untuk dibahas, seperti pasal penghinaan kepala negara.
Menurutnya, pembahasan RUU KUHP sudah dibahas selama 30 tahun lebih, dan pembahasan penghinaan terhadap kepala negara sudah disinggung pada pemerintahan sebelumnya.
“Kita ini kan tidak mau membuat sesuatu menjadi sangat liberal, sehingga orang can do anything the want atas nama kebebasan. Ga gitu dong,” tambahnya.
Yasonnah juga menampik bahwa pembahasan pasal ini merupakan pesanan dari Presiden Joko Widodo. Keberadaan pasal tersebut, Lanjut Menkumham, sudah ada dalam draf RUU yang lama.
Kendati demikian, pihaknya mengaku pasal penghinaan kepala negara dalam RUU KUHP masih terus dibahas, sehingga aturan teknis masih perlu diperdalam.