Kabar24.com, JAKARTA – Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sempat memberi catatan atas isi berkas gugatan norma obstruction of justice UU Tipikor.
Di satu sisi, pemohon perkara No. 8/PUU-XVI/2018 merasa terdiskriminasi dengan eksistensi Pasal 21 UU Tipikor tersebut. Namun, di sisi lain pemohon justru meminta agar para advokat diberikan prosedur khusus ketika diduga melakukan obstruction of justice.
“Ini sebenarnya agak mengganggu saya. Mengganggu dalam tanda petik ya,” kata Palguna ketika menyidangkan perkara tersebut, Senin (5/2/2018).
Palguna juga merasa permintaan atau petitum pemohon kepada MK bermuara pada penambahan norma. Padahal, MK merupakan lembaga negative legislator bukan positive legislatorsebagaimana halnya Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemohon perkara No. 8/PUU-XVI/2018 meminta MK untuk membatalkan Pasal 21 UU Tipikor sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam dan luar sidang persidangan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.”
Hakim Konstitusi Aswanto juga merasa ada keganjilan penggunaan batu uji dalam permohonan perkara tersebut. Pemohon mendalilkan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin perlakuan sama setiap warga negara di muka hukum.
Baca Juga
“Intinya Saudara ingin ada perlakuan khusus tapi batu ujinya kok pasal yang meminta semua warga diperlakukan sama?” tanya Aswanto.
Victor Santoso Tandiasa, kuasa hukum pemohon perkara 8/PUU-XVI/2018, pun memberikan tanggapan atas pernyataan Majelis Hakim Konstitusi. Menurut dia, perlakuan khusus advokat bukan terhadap seluruh warga negara melainkan atas sesama penegak hukum.
“Kalau terhadap advokat bisa kena obstruction of justice, apakah polisi, jaksa, dan hakim bisa terkena juga?” ujarnya.
Meski demikian, Victor mengakui dirinya mengalami kesulitan saat menyusun konstruksi petitum. Dia berjanji akan memperbaiki berkas permohonan tersebut dalam waktu paling lama 14 hari.
Victor menggugat keberadaan Pasal 21 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur obstruction of justice. Selain dia, gugatan serupa juga dilayangkan oleh advokat Khaeruddin dengan No. 8/PUU-XVI/2018.
Obstruction of justice sebagaimana termaktub dalam UU Tipikor adalah tindakan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus tindak pidana korupsi.
Pemohon perkara No. 7/PUU-XVI/2018 dan No. 8/PUU-XVI/2018 sama-sama menginginkan agar penyidik meminta pertimbangan dewan kehormatan profesi advokat sebelum memeriksa advokat yang diduga merintangi proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi.