Kabar24.com, JAKARTA — Kalangan akademisi menilai rencana parlemen menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP menimbulkan ketidakpastian hukum.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapuskan norma penghinaan presiden dan wapres KUHP yang tercantum dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (Untar) Herry Firmansyah mengingatkan kembali bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hendak memasukkan kembali norma penghinaaan presiden dan wapres maka akan menjadi preseden buruk bagi budaya hukum Indonesia.
“Budaya hukum diciptakan untuk mengarah kepada kepastian hukum. Kalau dimasukkan lagi, ini merupakan bentuk penyelundupan hukum,” katanya dalam acara diskusi RKUHP Mengancam Demokrasi di Jakarta, Sabtu (3/2/2018).
Senada, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai rencana DPR tersebut mendelegitimasi fungsi MK. Apalagi, menurut dia, parlemen tidak kali ini saja menghidupkan norma-norma yang telah dibatalkan oleh lembaga penafsir UUD 1945 tersebut.
“Praktik ini semestinya dihentikan karena tidak bagus dalam kontesk menjaga kepastian hukum,” katanya di tempat yang sama.
Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 mengabulkan permohonan uji materi sejumlah korban pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di era Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Mereka a.l. advokat Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis.
Meski demikian, Majelis Hakim Konstitusi tidak bulat ketika mengeluarkan putusan bertanggal 6 Desember 2006 itu. Dari 9 Hakim Konstitusi, terdapat 4 orang yang mengeluarkan pendapat berbeda yakni I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan Achmad Roestandi.