Kabar24.com, JAKARTA - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari menolak ‘mitos’ menguatnya politik primordial di Indonesia yang dihembuskan pasca-Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Menurut dia, fenomena menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2018 justru menunjukkan bahwa politik Indonesia masih cair. Partai-partai politik yang dituding menggalang sentimen identitas pada Pilgub DKI 2017 ternyata tidak selalu solid, malahan kini berkolisi dengan rival ideologis.
“Setelah di DKI tak tampak lagi di pilkada tahun ini apa yang dulu dibayangkan bakal panas dan bergejolak,” katanya dalam acara diskusi 2018: Tahun Politik nan Penuh Tantangan di Jakarta, Rabu (17/1/2018).
Hajriyanto pun menyimpulkan adanya kesalahpahaman analisa menanggapi hasil kontestasi kepala daerah di Jakarta. Setelah kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, misalnya, muncul opini bahwa masyarakat Indonesia berpotensi terbelah.
Reaksi terhadap opini itu kemudian ditarik ke ranah ideologis. Faktanya, menurut Hajriyanto, dinamika di Jakarta lebih disebabkan faktor psikologis semata.
“Ternyata tidak ada bahaya ideologis. Seolah-olah Pancasila dan kebhinekaan terancam. Alhamdulillah! Puji Tuhan!, hal itu tak terjadi,” ujar mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini.
Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsuddin sependapat bahwa nyatanya ketakutan terhadap politik identitas pasca-Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak terbukti. Dia lantas mengingatkan bahwa demokrasi bisa kuat apabila ditopang oleh budaya masyarakat.
Budaya Indonesia, kata Din, justru dianggap sebagian kalangan belum siap menerima perubahan politik melalui mekanisme pemilihan umum. Meski demikian, eks Ketua Umum PP Muhammadiyah ini meyakini suatu saat masyarakat negeri ini kian matang dalam berdemokrasi. "Biarlah nanti sejarah yang membuktikan seperti apa hasilnya," ucap Din.