Kabar24.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch atau ICW berharap Badan Pengawas Pemilu alias Bawaslu lebih bertaji dalam menindak semua masalah dalam pemilu termasuk terkait dimintanya mahar politik.
Data yang dihimpun ICW sudah ada beberapa kasus mahar politik yang mencuat dalam proses pemilihan kepala daerah serentak 2018. La Nyalla Matalitti mengaku diminta mahar sebesar Rp40 miliar oleh Partai Gerindra untuk mencalonkan dalam pemilu kepala daerah Jawa Timur.
Di Jawa Barat kasus serupa dijumpai saat Dedi Mulyadi yang merupakan Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Barat dimintai Rp10 miliar oleh oknum Partai Golkar. Sebelumnya, Partai Hanura pun terpecah akibat masalah yang sama di mana ketua umum partai tersebut, Oesman Sapta Odang, dituding beberapa fungsionarisnya meminta mahar poitik.
ICW pun mencatat di Cirebon Brigjen (pol) Siswandi gagal maju dalam pemilhan kepala daerah. Pangkal masalahnya sama, PKS meminta mahar politik.
Koordinator Korupsi Politik ICW Donal Faris mengatakan hanya sedikit praktek perusak demokrasi tersebut Nampak ke publik.
Dia meyakini masih banyak kasus serupa namun tak terendus. Hal itu lantaran praktek ini merupakan simbiosis mutualisme antara partai politik dengan calon yang diusung.
Hanya bakal calon kepala daerah yang tidak jadi mencalonkan diri saja yang biasanya mengangkat isu ini kepermukaan. Oleh karena itu, kata dia, Bawaslu sebagai pihak yang paling berwenang jangan hanya bertaji saat verifikasi partai politik saja.
“Bawaslu bisa berkoordinasi dengan penegak hukum yang juga memiliki kewenangan dalam penindakan seperti Polri dan KPK,” ujarnya di kantor ICW, Selasa (16/1/2018).
Dengan pengungkapan beberapa kasus seharusnya Bawaslu bisa menindaklanjuti masalah tersebut. Bahkan menurutnya, prakter mahar politik biasa dilakukan semua partai di Indonesia.
Dalam regulasi diatur jika partai politik terbukti meminta mahar maka tidak bisa mengikuti pemilu selanjutnya. Adapun calon yang memberikan mahar politik tidak bisa mengikuti pemilihan.
Regulasi tersebut adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang melarang adanya penerimaan imbalan.