Bisnis.com, JAKARTA—Organisasi kemasyarakatan Gerakan 20Mei dari Kabupaten Kutai Timur mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas ketentuan penundaan atau pemotongan anggaran transfer ke daerah yang diatur dalam Pasal 15 ayat 3 huruf d Undang-undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang APBN 2018.
Menurut Ketua Gerakan 20Mei Irwan, langkah pengujian UU APBN itu dilakukan lantaran berulangkali pemerintah pusat melakukan penundaan atau pemotongan dana transfer ke daerah dengan alasan negara mengalami defisit keuangan.
"Akibatnya kontraktor tidak dapat dibayar, pun gaji tenaga honorer pemerintah Kabupaten Kutai Timur hingga saat ini tidak dibayar. Bahkan hal yang ironi, beberapa pemerintahan desa sempat menutup pelayanan terhadap masyarakat," katanya dalam keterangan resmi hari ini, Jumat (12/1/2018).
Irwan mengatakan kondisi ini telah berlangsung sejak 2016 hingga saat ini. Padahal, pemerintah pusat dan daerah lainnya, khususnya di pulau Jawa terus melakukan pembangunan infrastruktur dengan nilai triliunan rupiah.
Dia menyayangkan, seharusnya daerah diperlakukan secara adil dan proporsional dalam hubungan keuangan negara. Pemerintah pusat, kata dia, tidak boleh sewenang-wenang melalukan pemotongan dana bagi hasil karena aturan pembagian dan jumlahnya telah jelas diatur dalam undang-undang perimbangan keuangan negara.
Secara konstitusional pemotongan itu bisa dilakukan kalau pemerintah daerah melakukan pelanggaran atas alokasi anggaran. Khususnya di Kutai Timur, tidak terjadi pelanggaran namun pemotongan terus dilakukan.
"Sebab itu kami mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk diperlakukan secara adil. Semoga langkah yang dilakukan membawa berkah bagi rakyat Kalimantan Timur khususnya masyarakat Kutai Timur," kata Irwan.
Sementara itu, kuasa hukum Gerakan 20Mei Ahmad Irawan mengatakan secara konstitusi setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil. Daerah berhak atas hubungan keuangan yang adil dan selaras sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta setiap orang berhak atas kehidupan yang layak.
"Sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat 3, Pasal 28C ayat 2, Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28A UUD 1945," ujarnya.
Menurut Irawan, dua hal pokok yang jadi sebab dibalik gugatan ini yaitu pertama pemerintah daerah mengalami kekurangan anggaran untuk melaksanakan tugas dan kewenangan yang telah disentralisasikan.
Kedua, hal itu mengakibatkan pemerintah daerah tidak dapat membayar program dan kegiatan yang telah dilaksanakan.
"Untuk itu Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan agar pemerintah pusat tidak melakukan pemotongan dana bagi hasil tanpa dasar hukum," tuturnya.
Menurutnya, seandainya dilakukan pemotongan maka hal tersebut merupakan bagian dari penerapan sanksi dan pemotongannya dilakukan untuk tahun anggaran berikutnya, tidak pada saat program dan kegiatan daerah telah dibahas atau telah dilaksanakan.
Dia pun menyebut, tindakan penundaan atau pemotongan anggaran selama ini ke daerah bertentangan dengan prinsip konstitusi bahwa keuangan negara harus dikelola secara terbuka dan bertangggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan sesuai dengan kebutuhan penyelengaraan pemerintahan daerah.
"Penduduk daerah penghasil dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya serta mendapatkan kehidupan yang layak serta hubungan keuangan, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang adil dan selaras," terangnya.