Bisnis.com, JAKARTA—Wacana pergantian pucuk pimpinan parlemen pascaditahannya Ketua DPR RI Setya Novanto karena kasus korupsi KTP berbasis elektronik oleh KPK terus bergulir.
Menilik pergantian pucuk pimpinan lembaga negara tersebut dalam kurun tiga tahun terakhir cukup memprihatinkan. Mengalami dua kali pergantian karena masalah etika dan hukum. Sebelumnya, Setya Novanto digantikan Ade Komarudin karena masalah etika.
Publik mengenalnya dengan kasus ‘Papa Minta Saham.’ Setelah itu, Setya Novanto menjabat kembali Ketua DPR RI setelah memenangkan pemilihan tampuk kepemipinan tertinggi di Partai Golkar.
Saat ini, partai berlambang beringin tersebut didesak secara politis mengganti Ketua DPR RI karena Setya Novanto ‘cacat’ secara hukum.
Terkait hal itu, Direktur eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda, yang aktif menyoroti isu demokrasi mengatakan saat ini menurut Undang-undang MD3 memang jatahnya Partai Golkar yang memimpin DPR RI.
Saat Partai Golkar bermasalah otomatis berpengaruh di DPR. Di sisi lain, masalah ketua DPR RI sejak pemilu 2014 merupakan dinamika dua koalisi besar yang dahulunya adalah Koalisi Merah Putih yang merupakan oposisi dan Koalisi Indonesia Hebat yang mewakili pemerintah.
Baca Juga
Namun, saat ini, masalah yang sedang disoroti adalah terkait ketua DPR RI. Sehingga, agar masalah itu selesai terlebih dahulu harus dibenahi persoalan di tubuh Partai Golkar.
“Persoalan di Golkar belum beres, jangan ajukan dulu ketua DPR baru. Sifatnya politik kolegial jadi pimpinan DPR tidak masalah jika menunggu. Kalau sudah ada ketua umum definitive dari Partai Golkar, sudah jelas, baru pergantian ketua DPR dikirim resmi oleh Golkar,” ujarnya, kepada Bisnis, Minggu (10/12).
Seperti diketahui, Partai Golkar akan segera melaksanakan musyawarah nasional luar biasa untuk menunjuk ketua umum yang baru. Recananya, munaslub akan digelar pada pertengahan bulan ini.
Menurutnya, ke depan Partai Golkar harus menyodorkan nama untuk Ketua DPR RI baru yang merupakan antitesa dari Setya Novanto. Citra publiknya harus positif, bersih dari kasus korupsi maupun potensi bermasalah dengan hukum.
Selain itu, sosok Ketua DPR yang baru harus memiliki relasi elit internal partai yang kuat dengan jejaring yang luas. Pasalnya, kata dia, dalam tubuh Partai Golkar, keberadaan berbagai macam faksi sangat kuat dan menonjol. Ketua DPR yang disodorkan partai, bisa berubah tergantung faksi yang berkuasa.
Di sisi lain, Partai Golkar harus menyodorkan kader yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang baik agar bisa menjaga marwah kelembagaan DPR. Sebabnya, saat ini DPR menjadi lembaga negara dengan tingkat kepercayaan publik terendah.
“Dia harus bisa memimpin citra DPR dan juga memimpin kinerja DPR. Kompetensi tentunya, bisa memenuhi target legislasi,” ujarnya.
Hanta pun menyatakan, Ketua DPR RI yang baru harus bisa membawa lembaga itu menjadi penyeimbang serta kontrol bagi pemerintah dan bersikap independen. Menurutnya, fungsi relasi DPR-presiden itu adalah efektif, bukan konfrontatif atau kolutif.
Hanta menjabarkan, efektif adalah jika pemerintah sesuai konstitusi dan menjalankan amanah untuk kepentingan rakyat, maka DPR wajib sejalan dan mendukung. Akan tetapi jika sebaliknya melenceng dari konstitusi dan tidak pro rakyat maka harus mengkritisi pemerintah.
“Kolutif itu apa saja kata pemerintah diikuti, sedangkan konfrontatif adalah apa saja yang dikeluarkan pemerinah berbeda, dikritisi terus,” tuturnya.
Dia menambahkan, setelah masa reformasi parlemen di Indonesia belum efektif dan masih mencari pola. Kendati demikian, kata dia, kondisinya cenderung lebih baik.