Bisnis.com, JAKARTA - Pengelolan zakat dan pajak dapat dilakukan secara integratif dan dikelola negara dengan didukung manajemen dan kebijakannya dilakukan secara modern berdasarkan prinsip good governance.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar, mengatakan bila regulasi zakat seperti pajak, maka Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bisa lebih fokus dalam mengentaskan kemiskinan.
“Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat itu bisa lebih fokus dalam mengentaskan kemiskinan dan mencapai tujuan keadilan sosial. Sehingga ketimpangan di masyarakat bisa dikurangi,” katanya, Rabu (22/11/2017).
Menurutnya, sesungguhnya zakat bersifat sosial dan menyangkut akumulasi harta yang terkait masalah keadilan ekonomi, maka diperlakukan berbeda dengan salat yang bersifat personal, yang tidak mungkin dilakukan pemaksaan oleh negara.
Zakat itu terkait hak orang lain dan sirkulasi harta, sehingga negara punya kewenangan untuk memaksa. Karena zakat merupakan kewajiban, bukan ibadah sukarela, maka membayarnya sebagai kewajiban, memberikan hak kepada negara untuk memberi sanksi sosial dan ekonomi.
Dia menjelaskan dana zakat bukan bersifat kedermawanan biasa. Karena itu jika dikaitkan dengan pajak, maka bisa diterapkan seperti di Malaysia, di mana pembayarannya menjadi pengurang pajak, bukan pengurang penghasilan yang kena pajak.
“Instrumen negara dapat menjangkau segala lapisan struktural masyarakat, maka keterlibatan negara akan mendorong terjadinya kesejahteraan dan keadilan sosial,” ujarnya.
Asep mengatakan secara filosofis, konsep negara Indonesia adalah untuk keadilan sosial. Maka, negara punya hak untuk mengontrol dan mengelola zakat dari masyarakat untuk tujuan-tujuan sosial itu.
Dia mencontohkan, di Brunei Darussalam, Malaysia, Kuwait, Sudan, Singapura, Arab Saudi dan Yordania, otoritas diberikan kepada negara untuk menjadi pengontrol dan pengelola utama perzakatan.
Maka, lanjutnya, jika ada lembaga lain seperti LAZ, fungsinya lebih sebagai patner atau mitra yang mengembangkan usaha-usaha, misalnya pemberdayaan tertentu dari hasil zakat tersebut.
“Zakat mengandung makna ibadah sosial, yaitu dipahami sebagai keseimbangan antara yang kaya dan miskin, penghapusan monopoli orang-orang kaya, perlindungan si miskin, pemerataan harta, hubungan mutualisma dan kesetaraan kaya-miskin,” tegasnya.
Dalam sistem keuangan modern, lanjut dia, zakat dianggap sebagai sistem keuangan yang dapat menyangga kebutuhan publik atau pemasukan keuangan negara, di samping pajak. “Zakat harus menjadi instumen keuangan untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat seperti tertuang dalam sila kelima Pancasila,” ucapnya. *