Bisnis.com, JAKARTA – Dalam sidang korupsi proyek pengadaan KTP-e yang merugikan negara Rp2,3 triliun, anggota majelis hakim Ansyori Syaifuddin mempertanyakan keberadaan Setya Novanto yang selalu ada kafe.
"Anggota DPR bukannya sibuk kok malah nongkrong di kafe?" tanya Ansyori Syaifuddin, dalam sidang yang digelar di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jumat (3/11/2017) .
"Itu saat malam hari pak," jawab Setya Novanto, Ketua DPR. Setya Novanto menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang didakwa mendapatkan keuntungan US$1.499 juta dan Rp1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-e yang seluruhnya merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
Awalnya, ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar mengajukan pertanyaan tentang Ketua DPR Setya Novanto yang menunjuk pengusaha Andi Narogong sebagai orang kepercayaannya dalam pengadaan proyek KTP elektronik (KTP-e).
"Ada juga yang menyebut Andi ini orang Anda dan terkait dengan e-KTP ini ada uang yang mengalir ke Anda?" tanya hakim Jhon Halasan Butarbutar.
"Tidak benar yang mulia, tidak pernah dan tidak tahu," jawab Setya Novanto (Setya Novanto) ,yang hadir setelah dua kali tidak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai saksi pada tanggal 9 dan 20 Oktober 2017.
"Saya hanya dua kali bertemu dengan Andi yaitu pada pertengahan 2009. Saat itu Andi datang ke 'Tbox Cafe', kebetulan saya selalu di sana. Saat itu dia memperkenalkan diri sebagai 'supplier' kaos dan pembuatan alat lain berkaitan dengan pilpres," ucap Setnov.
Namun, setelah negosiasi harga dan tawaran barang, akhirnya Setnov yang saat itu menjabat sebagai Bendahara Partai Golkar tidak menindalanjuti tawaran Andi.
Pertemuan kedua juga masih terjadi di Tbox Cafe, kali ini Andi menawarkan kaos dari China tapi karena kesulitan pengiriman maka Setnov pun batal menggunakan jasa Andi untuk menyediakan kaos jelang pilpres tersebut.
"Pada saat e-KTP anda disebut kunci menentukan anggaran?" tanya hakim Jhon.
"Tidak benar," jawab Setnov.
"Kita hanya konfirmasi karena ada dalam dakwaan juga ada istilah untuk urus anggaran e-KTP harus dikawal anggarannya ada tidak?" tanya hakim Jhon.
"Saya rasa tidak ada," jawab Setnov.
"Anggota DPR bukannya sibuk kok malah nongkrong di kafe?" tanya anggota majelis hakim Ansyori Syaifuddin.
"Itu saat malam hari pak," jawab Setnov.
"Lantas apakah Anda bertemu di hotel Gran Melia bersama Irman, Sugiharto dan Dian?" tanya hakim Jhon.
"Saya belum pernah datang pukul 06.00 karena pukul 06.00 juga (hotel) belum buka, tidak benar saya melakukan pertemuan di sana," jawab Setnov.
"Irman datang ke kantor anda?" tanya hakim Jhon.
"Tidak pernah," jawab Setnov.
"Saya tidak dalam posisi menuding, tapi hanya memperhadapkan terkait e-KTP ini yang konon melibatkan anda, apakah anda kenal mantan Sekjen Mendagri Diah dan berpesan ke Diah agar bila Irman ditanya apakah kenal Anda atau tidak dijawab tidak kenal?" tanya hakim Jhon.
"Tidak pernah," jawab Setnov.
"Momen pertemuan Anda dengan Diah itu terjadi saat pelantikan ketua BPK?" tanya hakim Jhon.
"Tidak benar karena saya memang makan bersama beberapa pejabat lain, tapi saya tidak tahu siapa saja, dan saya salaman juga tidak tahu ke siapa saja," jawab Setnov.
Padahal dalam dakwaan Andi Narogong disebutkan pada Februari 2010 di hotel Gran Melia terjadi pertemuan antara Andi, Dirjen Dukcapil Irman, Direktur PIAK Kemendagri Sugiharto, Sekjen Kemendagri Diah Angraeni dan Setnov, dalam pertemuan itu Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahsan anggaran proyek KTP-e.
Sebagai tindak lanjutnya, Andi mengajak Irman menemui Setnov di ruang kerja Setnov di lantai 12 gedung DPR RI dan Setnov berjanji untuk menkoordinasikannya. Selanjunya, pada September-Oktober 2011 di rumah Senov di Jalan Wijaya Kebayoran, Andi bersama Direktur Quadra Solutions Anang S Sudihardjo dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos bertemu Setnov. Setnov menginstruksikan agar proyek KTP-e dilanjutkan.
Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya DPR menyetujui anggaran KTP-e dengan rencana besar tahun 2010 senilai Rp5,9 triliun yang proses pembahasannya akan dikawal fraksi Partai Demokrat dan Golkar dengan kompensasi Andi memberikan "fee" kepada anggota DPR, termasuk Setnov dan Andi Agustinus yang mendapat sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar serta sejumlah pejabat Kemendagri.