Kabar24.com, JAKARTA--Pasca heboh pernikahan sejenis yang terjadi di Kecamatan Ajung, Jember, Kantor Urusan Agama (KUA) Ajung mengaku kecolongan berkat pemalsuan dokumen pada peristiwa pernikahan Ayu Puji Astuti dan Fadholi.
Pemalsuan dokumen itu mulai terungkap setelah adanya aduan dari masyarakat terkait dugaan kedua pasangan yang menikah pada akhir Juli 2017, adalah sesama jenis yakni laki-laki.
“Kami sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan pengadilan. Sekarang yang bersangkutan [Ayu] sudah mengakui kepada pihak kepolisian perihal pemalsuan identitas jenis kelamin,” kata petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Ajung, Jember, Moh. Erfan dalam keterangan resmi Kemenag, Selasa (24/10/2017).
Pasca pengakuan resmi di hadapan kepolisian, lanjut Erfan, KUA Ajung sudah berkoordinasi dengan pihak pengadilan. Kini, pihaknya tengah menunggu pemanggilan dari pihak pengadilan untuk proses selanjutnya.
Erfan menjelaskan Fadholi dan Ayu menikah pada Juli 2017. Fadholi tercatat sebagai warga Dusun Plalangan, Desa Glagahwero Kecamatan Panti sementara Ayu, warga Desa Pancakarya Kecamatan Ajung.
“Sesuai prosedur, calon pengantin mengajukan permohonan pencatatan pernikahan, lalu menyerahkan dokumen, ditemani Modin Desa Pancakarya. Jadi, secara dokumen itu lengkap. Tidak ada kecurigaan, karena dari segi fisik juga sama, perempuan,” jelas Erfan.
Erfan memastikan prosedur pemeriksaan dokumen juga sudah dilakukan. Sesuai SOP, sebelum akad nikah, setiap penghulu harus memeriksa kembali dokumen kedua mempelai. Sebelumnya, modin desa juga ikut memeriksanya.
Namun demikian, Erfan menegaskan bahwa KUA tidak berwenang memeriksa fisik calon pengantin saat mereka mendaftar. Jika ada kecurigaan, KUA boleh minta pihak Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Dokumen lengkap dan pernikahan dilangsungkan, semuanya berjalan normal. Baru pada 9 September 2017, pihaknya kedatangan LSM yang menyampaikan aduan terkait adanya dugaan pemalsuan identitas atas nama Ayu, sang mempelai wanita. Mereka minta untuk melihat dokumen pernikahan keduanya" paparnya.
Sebagai langkah awal, Erfan meminta pihak pengadu menyampaikan surat pengaduan resmi. Tanggal 19 September 2017, surat aduan itu diajukan. Berdasarkan surat tersebut, pada tanggal 20 September, pihak KUA mengumpulkan Kepala Desa Bancakarya beserta jajaran dan modin. Mereka juga tidak menduga kalau Ayu adalah laki-laki.
Langkah berikutnya, KUA melayangkan surat pemanggilan kepada kedua mempelai untuk dimintai keterangan. Namun, hingga 25 September, kedua mempelai tidak datang dan hanya menyampaikan surat balasan dengan isi bahwa mereka siap menerima apapun keputusan pihak KUA.
“Nah, kami jelas masih butuh keterangan langsung, namun mereka tetap nggak mau hadir. Intinya masih mengelak tentang pemalsuan identitas,” ujarnya.
Dia menjelaskan, KUA bersikeras harus ada pengakuan langsung dari yang bersangkutan, atau pemeriksaan fisik untuk membuktikan pengaduan sebelum proses pengajuan permohonan pembatalan nikah ke pihak pengadilan agama dilakukan.
KUA pun kembali melayangkan surat kepada keduanya agar memberikan pernyataan tentang pengakuan pemalsuan identitas kelamin disertai dengan cap jari. Surat ini disertai tenggat waktu hingga 19 Oktober 2017.
Menurut Erfan, meski isu Ayu adalah laki-laki sudah berkembang, pihaknya tetap membutuhkan bukti faktual sebagai dasar pengajuan surat pembatalan pernikahan. Sampai 19 Oktober yang menjadi batas akhir, Ayu tidak juga hadir dan tanpa alasan.
“Akhirnya kami berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan pengadilan. Sekarang yang bersangkutan sudah mengakui kepada pihak kepolisian perihal pemalsuan identitas jenis kelamin,” tambahnya.