Kabar24.com, JAKARTA — Klausul ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dinilai telah membuat norma baru yang bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi diminta menghapus Pasal 22 UU Pemilu yang berbunyi, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay berpendapat konstitusi telah mengatur pencalonan presiden/wapres dengan jelas. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945, pasangan capres/cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol pemenang pemilu.
“Tidak seperti pemilihan DPR, DPD, dan DPRD provinsi atau kabupaten dan kota, soal syarat pilpres sudah tuntas dalam konstitusi kita. Pengaturan lebih lanjut adalah tata caranya bukan membuat norma baru,” katanya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU Pemilu di Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Hadar bersama dengan Yuda Kusumaningsih, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KODE) menjadi pemohon uji materi tersebut. Mereka menggandeng kuasa hukum Fadli Ramadhanil, Ulya Fajri, dan Jamil Burhan.
Pemohon berargumen ambang batas itu menghambat kesempatan semua parpol untuk mengajukan pasangan calon. Pasal 222 juga dinilai mereduksi dan mengesampingkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan fakta bahwa yang bisa mengajukan pasangan capres/cawapres terbatas hanya parpol yang sudah memiliki suara hasil Pemilu 2014.
Sedangkan, pada Pemilu 2019 nanti dimungkinkan muncul banyak parpol baru yang akan mendaftar menjadi peserta. Jika kelak ada parpol yang baru pertama kali menjadi peserta pemilu, mereka akan serta-merta atau otomatis kehilangan hak untuk mmengajukan pasangan capres/cawapres.
“Sangat mungkin masyarakat ingin perubahan yang lain dari pemilu sebelumnya,” kata Haedar.
Tiga Hakim MK yang menyidangkan perkara itu yakni Aswanto, Wahiduddin Adams, dan I Dewa Gede Palaguna umumnya mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) pemohon khususnya Hadar.
“Elaborasi kembali kerugian konstitusional yang dialami Saudara Hadar oleh norma tersebut,” kata Aswanto.
Uji materi Hadar dkk. diregistrasi pada 14 September 2017 dengan nomor urut 71. Permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu juga dilakukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dengan nomor urut 70 dan Mas Soeroso dengan nomor urut 72.
Hakim MK meminta para pemohon memperbaiki permohonan mereka paling lambat 16 Oktober 2017.