Kabar24.com, JAKARTA - Penyerangan dan perusakan kantor LBH Jakarta/YLBHI oleh sekelompok massa vandalis membuktikan bahwa negara gagal menjalankan amanah konstitusi.
Totok Yuliyanto dari Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengatakan pihaknya menuntut negara harus tegas dan tegak berdiri menghadapi persekusi, intoleransi serta provokasi kekerasan dari kelompok vandalis yang berpotensi mengancam keselamatan masyarakat.
“Adanya pelarangan dan pembubaran kegiatan di LBH Jakarta/YLBHI oleh aparat adalah bukti mandulnya negara melawan massa pengacau,” paparnya, Selasa (19/9/2017).
Presiden Joko Widodo, lanjutnya, harus melakukan evaluasi terhadap aparat Kepolisian yang justru menghambat dan menutup akses masyarakat yang mengikuti kegiatan pada 16 September 2017. Tindakan aparat tersebut, katanya, tanpa alasan dan informasi yang jelas serta tidak berdasar hukum.
PBHI juga Kepolisian harus mengusut tuntas semua pihak yang terlibat, bukan hanya aktor di lapangan tetapi juga aktor intelektual yang melakukan mobilisasi massa yang mengacau secara sistematis dan terorganisir. Pengusutan tersebut termasuk perintah untuk melakukan pelemparan batu, pengrusakan pagar gerbang, dan penyerangan terhadap orang di dalam gedung LBH Jakarta/YLBHI.
“Kami juga menilai negara harus bertanggung jawab dan segera melakukan pemulihan nama baik dan perbaikan infrasturktur terhadap LBH Jakarta/YLBHI, mengingat LBH Jakarta adalah Organisasi Bantuan Hukum OBH yang sah di hadapan UU Bantuan Hukum No. 16 /2011, terlebih lagi memiliki posisi strategis dalam upaya pemenuhan keadilan masyarakat lewat layanan bantuan hukum,” jelasnya.
Negara pula, lanjutnya, harus menjamin upaya setiap warga negara dalam pencarian keadilan atas pelanggan hak asasi baik yang terjadi di masa lalu maupun saat ini. Sebagai konsekuensi logis ketidakseriusan negara dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, dan impunitas pelaku.
Seperti diketahui, ratusan massa mengepung dan merusak sejumlah fasilitas milik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) karena di lokasi tersebut digelar pentas seni sebagai bentuk keprihatinan atas penghalang-halangan diskusi tentang pelurusan sejarah 1965.