Kabar24.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setuju untuk memberi dukungan senilai miliaran dolar AS dalam bentuk penjualan senjata baru kepada Korea Selatan pasca uji coba nuklir yang dilancarkan Korea Utara akhir pekan lalu.
Dalam pernyataan Gedung Putih, Trump diinformasikan telah berbicara dalam sambungan telepon terpisah dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dan Kanselir Jerman Angela Merkel.
Kepada Moon, Trump mengatakan pada dasarnya akan mendukung Korea Selatan memasangkan rudalnya dengan hulu ledak yang lebih berat. Langkah ini akan memungkinkan Korsel memiliki alat penangkal dengan potensi kekuatan lebih besar terhadap Korut.
“Trump dan Moon setuju untuk memaksimalkan tekanan pada Korea Utara dengan segala cara,” jelas Gedung Putih, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (5/9/2017). Trump memberikan persetujuan konseptualnya agar Korea Selatan dapat membeli persenjataan dan peralatan militer bernilai miliaran dolar dari AS.
Upaya mengatasi Korut juga dilakukan AS dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Senin (4/9) waktu setempat. Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley menegaskan bahwa AS akan mengupayakan sanksi paling kuat terhadap rezim Kim Jong Un atas tindakannya.
Haley mengatakan bahwa AS akan mengedarkan draft sanksi baru dan meminta DK PBB untuk memberikan suara mereka pada 11 September.
Tak hanya itu, ia menegaskan ancaman Trump di Twitter untuk menghentikan perdagangan dengan negara-negara yang berbisnis dengan Korea Utara, meskipun banyak pengamat mengatakan bahwa langkah ini cenderung tidak mungkin dilakukan.
Di saat AS kerap melontarkan ancaman perang dagang terhadap China, Trump belum terlihat menindaklanjuti hal ini, sebagian karena mengingat risiko yang akan diciptakan untuk ekonominya sendiri.
China adalah sekutu dan mitra dagang utama Korea Utara, sekaligus mitra dagang terbesar AS. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan bahwa komentar Trump tersebut tidak objektif maupun adil.
“Apa yang pasti tidak dapat diterima oleh kami adalah situasi di mana di satu pihak kami berupaya untuk menyelesaikan masalah ini dengan damai, namun di sisi lain kepentingan kami dikenakan sanksi dan terancam,” kata Geng di Beijing.
Ketegangan antara negara muncul saat pemerintahan Trump terlihat ingin meyakinkan China dan Rusia untuk mendukung sanksi yang lebih kuat terhadap Korea Utara. Sementara Trump tidak mengenyampingkan serangan terhadap rezim Kim Jong Un, China dan Rusia menentang penggunaan kekuatan militer terhadap Kim Jong Un.
Sementara itu, Korea Selatan menginformasikan bahwa pihaknya mendeteksi persiapan oleh Korea Utara untuk kemungkinan peluncuran rudal balistik antar benua (intercontinental ballistic missile/ICBM).
Kepala Kantor Perencanaan kebijakan Kementerian Pertahanan Korea Selatan Chang Kyung-soo mengatakan, berdasarkan laporan dari badan mata-mata negara, Korea Utara sedang mempersiapkan peluncuran ICBM kembali.
“Ada kemungkinan Korut kembali meluncurkan rudal dalam waktu dekat, namun belum diketahui kapan peluncurannya,” kata Chang Kyung-soo di hadapan parlemen Korsel.
Aksi kampanye militer itu merupakan kelanjutan dari uji coba bom hidrogen yang berhasil diledakkan akhir pekan lalu. Uji coba senjata pemusnah massal ke enam pada tahun ini tersebut, diklaim Pyongyang sebagai senjata dengan daya ledak paling besar yang pernah dibuat, yakni mencapai 120 kilo ton.
Hans Kristensen, Direktur Nuclear Information Project di Federasi Ilmuwan Amerika, mengatakan bahwa masyarakat internasional perlu membuat rencana permainan yang sangat berbeda daripada sekedar sanksi.
“Saat ini, semua yang dilakukan Korea Utara tampaknya harus lebih besar dan menakutkan. Isyarat yang mereka kirimkan seperti biasanya selalu sama yakni, kami tidak peduli dengan apa yang anda katakan, kami bisa melakukan ini dan akan terus melakukannya sampai anda berhenti mengancam kami," kata Hans.
"Dan tampaknya mereka memiliki sumber daya yang diperlukan untuk melakukannya meskipun ada sanksi,” tambahnya.