Kegelisahan Buya Syafii Maarif, intelektual muslim yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah, tentang dunia Arab yang sedang jatuh dan peradabannya berada di titik nadir patut direnungkan.
Kecenderungan sektarianisme yang terlalu tinggi adalah salah satu contoh. Namun, oleh umat muslim, Arab banyak dipandang sebagai representasi Islam, sehingga apapun yang berasal dari sana akan diterima mentah-mentah.
Faktanya, kita mendapati Arab yang tercerai-berai sekarang, justru karena sektarianisme yang dikedepankan itu. Konflik yang melanda sebagian besar negara-
negara di Arab, ditambah dengan jatuhnya harga minyak bumi—yang merupakan penyokong utama perekonomian di sana—menambah kompleksitas persoalan.
Padahal, menurut Buya Syafii, dalam ajaran Islam, Allah menginginkan manusia untuk bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan. Fenomena kawasan Timur Tengah ini yang disebutnya sebagai misguided Arabism. Arabisme salah jalan ini telah berlangsung sejak 657 masehi, 25 tahun setelah Nabi Muhammad Wafat, dan ironisnya berlangsung hingga hari ini.
Dia mengingatkan agar umat siuman, terutama di dunia melayu—Indonesia & Malaysia—dengan mayoritas muslim, agar menampilkan wajah Islam yang khas. Keluar dari kotak adalah jalan membangun peradaban.
Arab jika dibandingkan dengan Indonesia, adalah contoh yang menarik. Jazirah Arab yang membentang dari Iran hingga Aljazair, memiliki bahasa dan kultur yang identik, tetapi terbelah menjadi begitu banyak negara. Nusantara yang membentang dari Sabang hingga Merauke, memiliki lebih dari 700 bahasa daerah, bisa menyatu dalam satu negara.
Indonesia juga memiliki keuntungan berada di Asia Tenggara, sebuah kawasan regional dengan hubungan antarnegara yang begitu hangat.
Potensi konflik bukannya nihil, tetapi selalu bisa diselesaikan dalam meja perundingan, sebuah modal kultural yang khas sekaligus sangat bermanfaat bagi stabilitas kawasan, termasuk dalam bidang perekonomian.
Runtuhnya peradaban di Arab, juga tercermin dari ekonomi yang sedang jatuh. Sebutlah Arab Saudi sekarang, yang mulai mengalami defisit anggaran negara, harus rela memangkas gaji para pengawai negerinya.
Irak yang kaya minyak, tak bisa menikmati anugerah tersebut karena masih dilanda konflik sektarian suni-syiah, termasuk perang melawan ISIS.
Arab, menurut Menteri Luar Negeri Retno L. P. Marsudi, tak bisa melepaskan diri dari karakternya yang keras, dan larut dalam bias sektarianisme. Dalam banyak forum internasional, wakil-wakil dunia Arab bisanya hanya biasa rukun pada lima menit pertama setelah menguluk salam, berikutnya; ribut sendiri-sendiri.
Pernah suatu ketika, Menteri Retno menyindir Organisasi Konferensi Islam yang anggotanya mayoritas negara-negara dari wilayah Arab.
Menurutnya, bila kita tidak pernah bisa duduk lama dan berunding, maka OIC lama-lama bukan lagi menjadi Organization Islamic Conference, tetapi Organization Islamic Conflict.
Situasi ini, yang menurut Retno tidak terjadi di Asia Tenggara, sehingga menjelaskan mengapa berbagai program kerja sama, termasuk upaya mewujudkan masyarakat ekonomi Asean berjalan dengan relatif lancar. Asean, merayakan hubungan hangat kerja sama kawasan untuk ke-50 pada tahun ini.
***
Mari sekarang kita mencoba melihat bagaimana musuh tradisional Arab menilai fenomena misguided Arabism ini. Apa yang dipikirkan oleh seorang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap perkembangan Arab beberapa tahun terakhir?
Pada akhir Maret 2016, saya adalah salah satu dari lima jurnalis Indonesia yang diundang oleh Kementerian Luar Negeri Israel untuk mengunjungi Yerusalem, Tel Aviv, perbatasan Jalur Gaza, hingga Dataran Tinggi Golan.
Kunjungan ini sempat menjadi kontroversi, kendati dalam sebuah wawancara dengan kantor berita BBC, saya telah menjelaskan bahwa Israel rutin meng¬undang tamu luar negeri dari berbagai latar belakang seperti jurnalis, politisi, hingga pemuka agama sebagai bagian dari program kehumasan mereka.
Mungkin karena ini program kehumasan, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu bersedia mene¬rima kami, di kantornya yang memiliki penjagaan sangat ketat, di salah satu sudut Kota Yerusalem.
Kami menduga dia menghendaki pertemuan itu karena punya tujuan khusus, apalagi baru saja terjadi insiden gagal terbang helikopter yang hendak ditumpangi Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi ke Ramallah, untuk meresmikan Konsulat Kehormatan Republik Indonesia untuk Palestina karena blokade Israel.
Benjamin Netanyahu, menerima kami selama 30 menit untuk wawancara. Ketika itu, dia tampak bersemangat berbicara mengenai hubungan Israel-Arab, termasuk prospek hubungan ¬de¬ngan Indonesia—negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Bersuara bariton, de¬ngan penuh percaya diri yang cederung sombong, Netanyahu berkata kurang lebih begini, “Sudahlah, apa yang kalian harapkan dengan Arab yang sudah berantakan. Saatnya orang Indonesia lebih pragmatis [bekerja sama dengan Israel]. Kami punya banyak hal. Kalian perlu apa, teknologi informasi, pengembangan teknologi agribisnis?”
Lalu, Netanyahu merujuk para fenomena Arab Spring yang melanda Mesir, Libya, lalu merembet ke Yaman hingga Suriah.
Alih-alih itu melahirkan demokrasi, tapi justru banyak memicu perang saudara. Perdana menteri yang kini sedang terjerat kasus korupsi dan tidak akur dengan media ini, mencontohkan sejumlah negara Arab pada akhirnya bisa mulai realistis berhubungan dengan Israel, salah satunya Turki.
Kedua negara ini Israel-Turki, memang telah memiliki hubungan diplomatik. Hubungan dagang juga terjalin, termasuk dibukanya penerbangan langsung pesawat komersial dua negara. Pesawat Tukish Airline yang kami tumpangi dari Singapura-Istanbul-Tel Aviv, menjadi bukti hubungan ini.
***
Saya sama sekali tidak bermaksud menyamakan cara pandang Buya Syafii dengan Netanyahu tentang Arab. Karena sudah jelas posisinya berbeda. Buya adalah kawan tradisional dunia Arab sebagaimana sebagian besar rakyat Indonesia, dan Netanyahu adalah sebaliknya.
Namun, keduanya sama sama kritis dalam melihat perkembangan itu, demikian juga dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Saya juga sepakat, betapa konflik telah melemahnya persatuan dunia Arab sendiri. Konflik telah menjadikan kawasan tersebut sebagai titik panas peperang-an; tempat penderitaan hadir tanpa putus hingga sekarang.
Dengan konflik yang berkecamuk, lalu apa yang bisa kita harapkan? Alih-alih memajukan ekonomi, memastikan keselamatan manusia saja, bagi beberapa negara penuh konflik seperti Irak atau Suriah mengalami kesulitan.
Dalam hal ini, kita bersyukur dengan situasi stabilitas kawasan. Negara-negara Asia Tenggara bisa terus membangun perekonomianya di tengah melambatnya perekonomian dunia.
Masyarakat Ekonomi Asean yang berjalan 1,5 tahun terakhir, telah menghilangkan 96% pos tarif sehingga perdagangan bebas intrakawasan jauh lebih mudah dilakukan.
Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi negara Asean, kecuali Brunei Darussalam dan Singapura, termasuk cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi Kamboja (7%), Laos (7%), Filipina (6,9%), Vietnam (6,5%), Myanmar (6,4%) merupakan yang tertinggi diikuti oleh Indonesia (5%).
Namun, dengan jumlah penduduk yang besar (40,8% populasi), Indonesia tetap menjadi raksasa ekonomi dikawasan ini karena menguasai 36,5% produk domestik bruto Asean.
Pada 2016, dengan pendapatan perkapita US$3.974, Indonesia berada di peringkat kelima setelah Singapura (US$53.600), Brunei (US$31.431), Malaysia (US$11.028) dan Thailand (US$5.901).
Dengan kondisi seperti ini, sudah selayaknya warga Asia Tenggara bersyukur hidup di tengah harmoni dengan tingkat perekonomian yang terus membaik.
Belajar dari situasi konflik yang berkepanjangan di jazirah Arab, maka hubungan Asean yang sudah berumur setengah abad ini layak dipelihara.
Terlebih lagi dengan Indonesia, kebhinekaan yang dimiliki bisa dirajut sebagai negara bangsa yang telah berumur 72 tahun. Terlalu mahal jika karena perbedaan justru mengeskalasi konflik yang tentu saja akan merusak perekonomian.