Bisnis.com, JAKARTA-Pengamat kehutanan dan lingkungan IPB Ricky Avenzora mengingatkan, pemerintah tidak boleh membiarkan elitis mafia donor dan LSM lingkungan melakukan tekanan untuk kepentingan bangsa lain terhadap Indonesia.
“Disisi lain, pejabat-pejabat terkait dana donor harus dicegah agar tidak membentuk kartel SDM untuk memuluskan berbagai potensi kejahatan kerah putih yang potensial terjadi dalam penggunaan dana donor,” kata Ricky di Jakarta Minggu (14/7).
Ricky mengingatkan, sejak tahun lalu, lebih dari US$ 44 juta hibah dana lingkungan telah dikucurkan tanpa pengawasan kepada berbagai LSM lingkungan dan institusi di Indonesia.
“Pemerintah harus tegas menetapkan pola alokasi pembiayaan penggunaan dana donor secara rinci dan rigit serta DPR harus selektif dalam mengizinkan pemerintah dalam mengambil/menerima utang yang berkaitan dengan isu lingkungan," kata Ricky.
Negara, kata Ricky juga perlu membuka mata rakyat tentang berapa sebenarnya utang dana lingkungan yang sudah terjadi selama ini. “Berbagai kegagalan bisa saja tidak perlu dipermasalahkan, karena semua sudah sama-sama tahu penyebabnya, namun proses pembelajaran harus sama-sama ditegakkan dan disepakati untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.”
Menurut Ricky, berbagai potensi capital flight dalam dinamika donor harus ditekan menjadi sekecil mungkin, sedangkan integritas keilmuan serta profesionalisme kerja harus ditegakkan secara terukur.
Mengutip http://www.climateandlandusealliance.org/ , dia mengungkapkan, cukup banyak LSM penerima dana lingkungan dari lembaga Climate and Land Use Alliance (CLUA) yang berpusat di San Francisco, California, AS. Mereka di antaranya adalah HuMa (US$575.000), Jerat (US$114.000), AMAN (US$699,826), JKPP (US$800.000), KKI WARSI (US$595.289), Kemitraan (1.230,400 dolar AS), Mongabay Org Corp (735 ribu dolar AS), RAN (2.096,000 dolar AS), Samdhana Inc. (3.922,429 dolar AS), WetlandS Int. (249,962 dolar AS), WWF (200,445 dolar AS), dan Walhi (536,662 dolar AS).
Lembaga lain yang juga terlihat sebagai penerima dana adalah SEKALA (1.316,939 dolar AS), CIFOR (415,000 dolar AS), FFI (449,218 dolar AS), dan ICRAF (497,196 dolar AS) serta Stichting Oxfam Novib (700 ribu dolar AS).
Transparansi LSM
Sementara itu, penelitian mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor La Ode Muhammad Rabiali terkait Efektifitas dan Sustainabilitas Kinerja LSM Lingkungan Dalam Kegiatan Penghijauan membeberkan, LSM lingkungan tidak memiliki kesadaran akan pentingnya transparansi penggunaan dana kepada masyarakat.
Disisi lain, negara atau pemerintah tidak memiliki kontrol yang kuat atas transparansi LSM lingkungan yang dituangkan melalui aturan undang-undang maupun melalui peraturan pemerintah.Negara belum sepenuhnya menjalankan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Penelitian itu juga mengungkapkan, secara umum pemerintah dan masyarakat menyatakan setuju dan atau sangat setuju bahwa pola tindakan LSM lingkungan di Indonesia adalah untuk kepentingan negara asing. Hal ini bermakna bahwa LSM lingkungan: (1) sangat bergantung pada bantuan asing (2) visi dan misi kegiatan merupakan visi dan misi asing (3) patuh dan tunduk terhadap mekanisme dan aturan negara asing (4) tidak memiliki nasionalisme (5) menjadi ancaman kedaulatan negara