Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa kemenangan Presiden baru Prancis, Emmanuel Macron, sedikit banyak adalah bagian dari proses, bolehlah saya pinjam istilah: political disruption. Dia menggunakan cara-cara “disruptive” untuk mengalahkan Le Pen, pesaingnya yang dimotori gerakan “ultra kanan” yang dijuluki sebagai “patriot”, versus pengikut Macron yang dicap “globalis”.
Maka, kemenangan Macron seolah membalik proses disrupsi yang terjadi pada kemenangan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat. Di Indonesia, kita baru saja mengalami peristiwa politik luar biasa, mengharu-biru bukan hanya warga Jakarta, melainkan seantero Indonesia.
Kita tahu, Anies Baswedan telah memenangi Pilkada DKI menggulingkan Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama. Nasib Ahok begitu tragis, sudah kalah masuk penjara pula. Tentu banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa politik ini, bagi para politisi dan seluruh warga, bukan hanya Jakarta melainkan seluruh Indonesia.
Anies memenangi Pilgub dengan proses politik yang sepertinya kompleks dan rumit, tetapi sesungguhnya sederhana. Pilkada DKI adalah bagian dari disrupsi politik, sebuah proses perubahan yang telah terjadi di mana-mana.
Kebetulan, saya menulis kolom ini ketika tengah berada di Lon don, Ibu Kota negara yang terkena paparan disrupsi, saat kalah telak dalam referendum yang akhirnya memilih keluar dari Zona Euro, yang terkenal dengan sebutan British Exit alias Brexit.
Kelompok pengusung Brexit berhasil memanfaatkan sentimen dengan kecanggihan teknologi, dan menang. Brexit adalah contoh disrupsi politik yang mengejutkan dunia, dan juga orang-orang Inggris sendiri.
Baca Juga
Saya coba tengok kamus, disruption bermakna “an event that results in a dis - placement or discontinuity”, “the act of causing disorder”, atau “the act or rending asunder, or the state of being rent asunder or broken in pieces”. Artinya kurang lebih, “sebuah kejadian yang mengakibatkan pergantian (perubahan) atau diskontinuitas”, “tindakan yang menyebabkan gangguan”, atau “tindakan atau penyingkiran, atau keadaan terpecah”.
Terserah Anda mau pakai pengertian yang mana. Yang jelas, kini istilah disruption lantas merambah ke mana-mana. Aksesibilitas warga terhadap Internet dan kepemilikan telepon pintar telah memfasilitasi perkembangan itu.
Perkembangan dan kepemilikan device (gadget), ketersediaan network (infrastruktur dan jaringan pita lebar) dan apps (aplikasi) dalam berbagai bentuk seperti aplikasi pesan dan media sosial, telah memfasilitasi perubahan yang cepat.
Maka, kalau umumnya orang membicarakan disruption seolah terbatas pada urusan bisnis, kini kita telah merasakan dampaknya yang meluas. Ini bukan sekadar tukang ojek tradisional yang mati angin karena ojek online, atau manajemen taksi Blue Bird yang pening menghadapi serbuan Uber dan Grab, dan pada akhirnya harus bekerja sama.
Ini bukan pula soal industri keuangan yang mulai was-was dengan fintech atau praktik jasa keuangan berbasis teknologi. Akan tetapi, jauh lebih luas dari itu, termasuk perubahan sosial politik.
Dunia terus berubah, begitu pula Indonesia.
***
Membaca tulisan ini tentu harus dengan mode “disclaimer on”. Saya tidak berpretensi sebagai ahli politik. Ini bukan ulasan politik, apalagi soal Pilkada DKI Jakarta yang telah lewat.
Sebagai praktisi komunikasi, saya bermaksud meletakkan istilah disrupsi politik ini dalam konteks komunikasi massa, yang berubah begitu drastis belakangan ini. Ini disrupsi yang mengubah perilaku komunikasi yang masif: yang mengubah cara-cara pembentukan opini, penggalangan gagasan, dan mobilisasi “massa”.
Cara berpolitik praktis pun berubah. Seperti halnya media yang berubah selaras dengan perubahan perilaku konsumen, politik praktis juga menjelma menjadi “industri politik”, agar tetap relevan dengan massa pemilih.
Ini diawali oleh industri media yang bahkan telah mengalami revolusi. Bukan cuma multiplatform semata dalam arti menyediakan berbagai platform atau saluran yang relevan, tetapi juga mengubah model bisnis.
Begitu pula industri politik. Maka, menjelaskan perubahan industri politik, mirip dengan perubahan industri media. Di media, perubahan juga terjadi pada cara mengoleksi konten, termasuk perkembangan praktik agregasi konten, yang kini ‘memangsa’ banyak media konvensional, bahkan tanpa etika.
Bayangkan saja. Produksi konten yang berkualitas, informasi yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan, tentu membutuhkan proses produksi yang standar, mulai dari wartawan peliput hingga editor yang kompeten.
Namun, di era disrupsi ini, selaras dengan perkembangan jurnalisme warga, konten-konten yang diproduksi melalui proses produksi yang standar, profesional dan akuntabel itu begitu mudah berpindah medium karena praktik agregasi konten di media berbasis Internet.
Kalau dulu media harus berlangganan kepada kantor berita seperti Antara, Reuters, atau Bloomberg, kini banyak media daring merasa tak perlu berlangganan berita dari sumber konten, tetapi memiliki konten yang kaya karena “comot sana-sini”.
Akibatnya, media konvensional menjadi kurang relevan. Ini karena nyaris semua informasi tersedia dengan cepat dan realtime melalui gadget yang ada dalam genggaman. Di luar media, tentu telah banyak ulasan mengenai dampak disrupsi di bidang bisnis yang lain, merujuk istilah sharing economy, yang melahirkan banyak startup baru dan menggilas pemain bisnis lama.
Gojek, Uber, Grab adalah contoh pemain bisnis transportasi baru, yang maju pesat berkat aplikasi berbasis Internet. Juga munculnya e-commerce yang membuat mal berubah fungsi, akibat perubahan cara belanja konsumen millennials, yang lebih suka pesan lewat toko daring alias e-commerce.
Banyak ramalan, nantinya mal hanya jadi tempat makan dan menonton bioskop. Tempat megah itu enggak didominasi jualan produk fesyen seperti masa lalu. Di banyak kota di negara tertentu, keaddan seperti itu sudah terjadi. Beijing, misalnya, banyak mal yang berubah fungsi, karena disrupsi dari bisnis e-commerce Alibaba.
Di Indonesia, banyak yang percaya situasi se macam itu belum akan melanda toko-toko di mal-mal kita. Akan tetapi, siapa yang bisa meramal dengan presisi?
Kuncinya adalah “relevansi dan value”. Semakin relevan dalam kegunaan dan perilaku konsumen, serta semakin menawarkan value, antara lain harga yang kian kompetitif alias murah, maka semakin disukai konsumen.
***
Disrupsi politik hari ini adalah perkembangan yang tak terhindarkan. Di kancah politik, partai-partai politik kini tak lagi punya tangan dengan cengkeraman yang kuat terhadap massa pengikutnya. Kini banyak parpol “lemas terkulai” oleh pengaruh “massa teknologi”, yang jauh lebih mudah dimobilisasi melalui Internet.
Dengan kata lain, di era serba ng-Internet dewasa ini, disruption bukan hanya urusan ekonomi bisnis. Media sosial telah menjadi alat mobilisasi massa yang cepat, dan efektif. Tergantung kekuatan kata-kata, dan narasi. Tergantung kepintaran menciptakan situasi yang relevan dengan audiens.
Maka, mobilisasi akan cepat dan masif. Anda tentu ingat gerakan 212 lalu, begitu mudah dan cepatnya mobilisasi massa, yang digerakkan oleh kekuatan narasi hingga pengelolaan kata-kata yang efektif. Dengan memanfaatkan keyakinan, kepercayaan dan believe, disebarkan secara masif melalui media sosial dan aplikasi pesan seperti WhatsApp.
Tak pernah terbayangkan gerakan politik kini jauh bergeser ke dalam dampak disrupsi ini. Pelajaran dari Pilkada DKI, yang sebenarnya telah mulai tampak sejak Pilpres 2014, bagi saya adalah contoh nyata political disruption itu.
Di rubrik ini saya pernah menulis, liberalisasi digital ini sebenarnya berkah atau bencana? Dari sisi bisnis, berkahnya banyak, tentu saja, bagi yang menikmati kue ekonominya. Baik investor awal perusahaan startup yang memperoleh “kembalian investasi” berlipat-lipat setelah berhasil meraih konsumen dalam jumlah besar, meski harus memulai dengan “subsidi”.
Mereka berhasil mencetak company value dari mobilisasi user atau konsumen yang terpikat “relevansi dan value” dari produk atau jasa yang ditawarkan.
Di area politik, keahlian para buzzer dalam editing dan produksi kata-kata untuk menjadi endorser ataupun opinion leader, juga panen pendapatan. Mereka bahkan tak peduli, apakah tujuan memobilisasi massa lewat teknologi itu berdampak positif, atau negatif terhadap tatanan sosial kemasyarakatan, secara keseluruhan.
Oleh karena itu, di sisi lain, bencana dari disrupsi politik ini, bagi saya, juga luar biasa. Ini karena sikap skeptis, logis dan kritis, nyaris absen dalam kebanyakan pengguna Internet dan media sosial. Massa pengguna Internet gampang terombang-ambing sentimen, hanya atas dasar perspektif benci atau suka.
Informasi palsu, bohong, fitnah dan hoax masuk dari berbagai penjuru, baik dari kubu yang benci maupun suka. Mencari fakta dan kebenaran perlu upaya ekstra. Dan, untuk hal tertentu, dampak sosialnya ternyata “mengerikan”, tergantung dari sudut mana Anda memandang. Bukan hanya perubahan ekonomi dan sosial, tetapi tatanan politik.
Saya menduga, political disruption yang tak terkendali bisa mengarahkan “perubahan ideologi”, apabila tidak ditangkal dengan cara-cara yang “disruptive” pula. Bukan dengan cara kekuasaan tradisional, atau langkah biasa.
Sebaliknya, disruption akan menjadi berkah, apabila kita berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi ini untuk membangun nilai-nilai kebangsaan yang efektif. Kuncinya adalah narasi dan konten, antara lain disiplin, cinta Tanah Air, dan mentalitas produktif.
Bukan sebaliknya, hari-hari ini kita digerogoti virus kontraproduktif, karena setiap saat melihat gadget dengan informasi-informasi yang memecah belah, provokatif dan membuat kita menjadi bangsa yang lemah dan tidak produktif. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)