Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Trump Sepakat Perangi Proteksionisme, Tapi Tolak Ikuti Perjanjian Paris

Berada di bawah tekanan negara sekutunya di Group of 7 (G7), Presiden AS Donald Trump akhirnya sepakat mendukung janji memerangi praktik proteksionisme. Namun, Trump justru menolak menyetujui kebijakan pengendalian perubahan iklim global.
Presiden AS Donald Trump/Reuters
Presiden AS Donald Trump/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA— Berada di bawah tekanan negara sekutunya di Group of 7 (G7), Presiden AS Donald Trump akhirnya sepakat mendukung janji memerangi praktik proteksionisme. Namun, Trump justru menolak menyetujui kebijakan pengendalian perubahan iklim global.

Dalam komunike yang ditandatangani oleh tujuh pemimpin negara anggota G7 yakni AS, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Kanada dan Jepang, tertulis bahwa mereka sepakat dan berjanji untuk melawan semua bentuk proteksionisme. Negara anggota berkomitmen untuk mematuhi sistem perdagangan internasional yang telah disepakatai bersama.

Hal itu juga ditegaskan oleh Trump dalam cuitannya di akun Twitter-nya setelah pesawat kenegaraannya lepas landas meninggalkan lokasi pertemuan G7 di Sisilia, Sabtu (27/5/2017) waktu setempat. Namun demikian, dia tidak menuliskan kata proteksionisme dalam cuitannya tersebut.

“Kami telah mengadakan pertemua hebat mengenai segala hal, terutama mengenai perdagangan. Kami sepakat menghapus segala bentuk praktik distorsi perdagangan,” tulisnya, seperti dikutip dari akun @realDonaldTrump, Minggu (28/5/2017).

Hal tersebut dinilai menjadi angin segar bagi aktivitas perdagangan dan ekonomi global. Pasalnya, Trump selama ini dianggap sebagai tokoh utama yang mendalangi tumbuhnya tren pelaksanaan kebijakan proteksi perdagangan di dunia.

Trump dalam sejumlah kampanyenya bahkan mengancam akan memberlakukan tarif impor yang lebih tinggi pada produk-produk dari Meksiko dan China yang dianggap memberikan defisita perdagangan yang besar bagi AS.

Adapun, pada awal pekan ini, dia juga menyebut Jerman menerapkan kebijakan yang sangat buruk dalam melakukan perdagangan dengan AS. Pasalnya, Negeri Panser mengalami surplus dagang yang cukup besar dengan Paman Sam, terutama di sektor otomotif.

Kepuasan akan pertemuan yang digelar pada 26-27 Mei tersebut juga diungkapkan oleh Perdana Menteri Italia Paolo Gentiloni. Meskipun dia tak menampik adanya beberapa perbedaan pendapat antara AS dan negara anggota lain, terutama dalam penerapan kesepakatan Paris Climate Change.

“Kami puas dengan segala sesuatu yang dibahas dalam pertemuan ini, meskipun dalam beberapa hal kami menemui perbedaan pendapat dengan Washington,” katanya, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (28/5/2017).

Seperti diketahui, dalam pertemuan itu, Trump menolak untuk mendukung perjanjian untuk mengendalikan perubahan iklim global dalam kerangka Perjanjian Paris 2015. Dia mengaku, membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menentukan sikapnya pada kesepakatan tersebut.

Dalam hal ini, Trump menjanjikan dalam lima pekan ke depan dia akan dapat mengeluarkan keputusannya. Adapun sebelumnya, dalam sejumlah pidatonya, Trump menuding bahwa isu pemansan global adalah sebuah tipuan belaka. Untuk itu dia menolak untuk memberlakukan pemabatasan produksi karbon perusahaan di negaranya.

Kanselir Jerman Angela Merkel mengaku cukup terganggu dengan sikap AS dan Trump tersebut. Pasalnya, dia merasa AS mengingkari janji yang telah ditandantangani oleh 195 negara dalam pertemuan di Paris 2015 lalu.

“Secara keseluruhan, diskusi tentang iklim sangatlah pelik, jika tidak mau disebutkan tidak memuaskan. Tidak ada indikasi yang jelas apakan AS akan tetap mematuhi Perjanjian Paris meskipun Trump minta waktu lima pekan,” kata Merkel.

Terpisah, optimisme terkait bergabungnya AS dalam Perjanjian Paris diungkapkan oleh Presiden Prancis Emannuel Macron. Dia optimis, Trump yang disebutnya sebagai pribadi yang pragmatis akan mendukung Perjanjian Paris.

Di sisi lain, para pejabat G7 juga sepakat kesepakatan untuk menangani kebijakan luar negeri lain. Salah satunya adalah rencana pemberlakukan sanksi ekonomi lebih lanjut terhadap Rusia, jika negara itu terbukti melakukan campur tangan dalam kasus Crimea dan Ukraina.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper