Bisnis.com, JAKARTA -- Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menolak pemajuan batas usia pensiun hakim yang diajukan DPR-RI melalui inisiatif pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim.
IKAHI mengingatkan, jumlah hakim di Indonesia saat ini sangat kurang. Pasalnya, tidak ada rekrutmen selama 7 tahun terakhir, sementara di sisi lain adanya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemekaran wilayah di sejumlah daerah yang berkonsekuensi dengan pembukaan lembaga peradilan, sehingga membutuhkan hakim yang tidak sedikit.
Ketua Umum IKAHI Suhadi mengemukakan, dalam RUU umur hakim akan mengurangi usia Hakim Agung dari 70 tahun menjadi 65 tahun, hakim tingkat banding dari 67 tahun menjadi 63 tahun dan Hakim tingkat pertama, dari yang pensiun seharusnya 65 tahun menjadi 60 tahun.
Dan untuk Hakim Agung, lanjut Suhadi, juga di dalam RUU tersebut ada istilah kocok ulang. Dalam waktu 5 tahun bertugas, hakim yang bersangkutan diadakan evaluasi. Evaluasi yang dinilai oleh Komisi Yudisial dan oleh DPR untuk tugas 5 tahun kemudian.
“Kondisi seperti ini, terutama mengenai pemotongan umur sudah dibawa ke Munas IKAHI bulan November 2016 di Mataram, NTB. Dan semua hakim di seluruh Indonesia di dalam Munas tersebut menolak RUU yang mengatur tentang hal itu,” kata Suhadi bersama jajaran Pengurus Pusat IKAHI usai diterima oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/3/2017).
Suhadi mengatakan, dalam pertemuan dengan Presiden, pihaknya menyampaikan hal-hal yang menjadi permasalahan dalam proses pelaksanaan kerja badan peradilan di Indonesia.
Baca Juga
Pertama, bahwa di Indonesia terjadi kekurangan hakim, karena sudah 7 tahun tidak ada penerimaan hakim di Indonesia. Sedangkan yang pensiun terus terjadi sesuai dengan batas umur yang ditentukan.
Oleh sebab itu karena tidak ada penerimaan hakim sudah 7 tahun, menurut Suhadi, maka terjadi kekurangan hakim di Indonesia, terutama di tingkat pertama dan tingkat banding.