Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Pemantau Peradilan mengajukan sejumlah rekomendasi terkait pemilihan Ketua Mahkamah Agung baru yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat.
Berdasarkan keterangan resmi yang disampaikan pada Sabtu (11/2/2017), Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menilai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan saat ini terbilang sangat rendah. Hal ini bersesuaian dengan fakta banyaknya kasus korupsi di lingkungan peradilan yang melibatkan para hakim.
Tahun ini, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali akan mengakhiri masa jabatannya setelah lima tahun menjabat. Mahkamah Agung akan melakukan proses pemilihan ketua baru yang ke -14.
Berbeda dari lembaga lainnya, pemilihan dilakukan secara internal oleh para Hakim Agung, seturut ketentuan Pasal 8 Ayt (7) UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua atas UU 14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Hingga saat ini belum diketahui siapa calon yang memperebutkan kursi MA #1. Hatta Ali masih dimungkinkan untuk kembali menjabat sebab secara usia dirinya masih memiliki sisa masa bakti selama 3 tahun lagi, hingga 2020.
Proses yang tidak terbuka dan tanpa partisipasi publik ini menyebabkan ketiadaan gambaran awal mengenai proses pemilihan Ketua MA yang baru. Padahal posisi Ketua MA memiliki peran penting dalam memastikan hadirnya keadilan dan ditegakannya prinsip-prinsip Negara hukum.
“Karenanya publik hanya bisa menuntut agar Ketua MA yang baru, siapapun yang maju dan terpilih, untuk membenahi lembaga peradilan dan membersihkannya dari praktik-praktik korupsi, belajar dari kepemimpinan sebelumnya,” tulis KPP.
Melihat banyak dan gentingnya masalah di lingkungan lembaga peradilan, khususnya MA selama ini, Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan tiga sikap.
Pertama, para Hakim Agung harus memilih calon Ketua MA yang selain memiliki integritas juga memiliki kapabilitas dan memahami business process di lingkungan peradilan. Kedua, Mahkamah Agung membuka proses pemilihan kepada publik serta melibatkan partisipasi publik untuk memberikan masukan dan catatan atas calon-calon yang akan dipilih.
Ketiga, Mahkamah Agung perlu melibatkan lembaga lain seperti KPK dan PPATK, untuk memberikan masukan dan catatan terhadap calon-calon yang akan dipilih.
Sebagai catatan, selama Hatta Ali menjabat, tercatat beberapa persoalan menjadi sorotan publik. Terbaru, kasus dugaan keterlibatan (mantan) Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam praktik pengaturan perkara.
Kasus yang berawal dari ditangkapnya Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi salah satu kotak pandora yang membuka modus-modus judicial corruption yang diduga melibatkan berbagai elemen di lembaga peradilan.
Catatan MaPPI FHUI selama 2016 terdapat lebih dari 15 orang pegawai dan pejabat di lingkungan peradilan yang diduga terlibat kasus korupsi.
Sepanjang 2016, Komisi Yudisial (KY) menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebanyak 1.682 laporan dan 1.899 laporan surat tembusan.
Dari ribuan laporan tersebut, sebanyak 87 hakim direkomendasikan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diberikan sanksi dengan rincian 57 hakim dijatuhi sanksi ringan, 19 hakim dijatuhi sanksi sedang, dan 11 hakim dijatuhi sanksi berat.
Mahkamah Agung sendiri menerima jumlah pengaduan yang lebih banyak sepanjang 2016, yakni 2.336 pengaduan. Dengan rincian, 1.810 dari Badan Pengawasan (Bawas). Artinya ada kenaikan sebanyak 958 pengaduan dari tahun 2015.
Selain pekerjaan rumah dalam memberantas korupsi di lembaga peradilan, Ketua MA yang baru juga harus berhadapan akan beberapa masalah kelembagaan, seperti: manajemen perkara, minutasi putusan, implementasi pelayanan publik dan keterbukaan informasi di lembaga peradilan, rekrutmen hakim, pembinaan SDM, dan pekerjaan rumah lainnya.