Kabar24.com, JAKARTA – Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani tidak terkejut dengan kabar penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar.
Sebab, dia mencatat proses pencalonan Patrialis menjadi Hakim MK pada Juli 2013t \idak wajar.
Proses seleksi pun sempat dipermasalahkan oleh organisasi masyarakat sipil, hingga berujung ke pengadilan tata usaha negara.
“Ditunjuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang ditetapkan UU [undang-undang], setelah tergeser dari kursi Menteri Hukum dan HAM,” kata Ismail melalui keterngan tertulis, Kamis (26/1/2017).
Sebab itu, Ismail meminta pemerintah menaruh perhatian serius pada kasus ini. Praktik suap yang diduga ditukar dengan putusan hakim Konstitusi memiliki daya rusak lebih serius dibanding suap biasa.
Kewenangan MK memutus konstitusionalitas sebuah norma dalam UU, yang merupakan produk kerja DPR dan Presiden, adalah kewenangan yang sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa.
DPR dan Presiden Joko Widodo dalam hal ini perlu mengagendakan revisi UU MK untuk menyusun penguatan lembaga yang hakimnya telah dua kali terjerat kasus korupsi dalam waktu dekat ini.
Terlebih soal pengisian jabatan hakim MK, pengawasan, standar calon hakim, termasuk menyusun regulasi perihal manajemen peradilan MK yang kontributif pada pencegahan praktik korupsi.
Setara Institute juga meminta KPK menelisik lebih dalam potensi keterlibatan aktor lain di MK. Tidak menutup kemungkinan perkara ini juga melibatkan pihak lain di MK, seperti hakim lain dan staf kesekjenan MK.