Bisnis.com, JAKARTA – Korporasi di China mengalami kesulitan keuangan setelah instrumen pendanaan seperti, kredit diperketat, sedangkan imbal hasil obligasi yang menanjak cukup tinggi, sedangkan pembayaran tagihan transaksi klien banyak yang ditunda. Akhirnya, banyak korporasi Negeri Panda itu pun melirik instrumen pendanaan lainnya, seperti Efek Beragun Aset.
Direktur Exsekutif Investment Banking JPMorgan FIrst Capital Securities Co. Wang Xuebin mengatakan, korporasi di China, terutama swasta cukup sulit untuk mendapatkan pinjaman saat ini.
“Ditambah, penerbitan obligasi menjadi cukup sulit sejak semester II/2016, untuk itu banyak yang memilih menerbitkan EBA [Efek Beragun Aset] untuk pendanaan,” ujarnya seperti dilansir Bloomberg pada Rabu (11/1/2017).
Wang menyebutkan, EBA menjadi pilihhan korporasi di Negeri Tirai Bambu itu karena investor memandang risikonya lebih rendah ketimbang obligasi. Pasalnya, EBA dijamin aset yang menghasilkan keuntungan dan terpisah dari kegiatan operasional korporasi.
Meskipun begitu, dengan kondisi ekonomi domestik [China] yang masih melambat, beberapa pengamat menilai EBA pun memiliki risiko yang sama besar dengan instrumen lainnya.
General Manager Departemen Keuangan China Chenxin International Credit Rating Co. Li Yan menuturkan, dengan kondisi ekonomi yagg melambat, investor EBA bisa menghadapi risiko yang lebih tinggi jika underlying aset berhubunggan dengan ekonomi riil seperti, piutang dan hak penerima.
Kepala Investasi Genial Flow Asset Management Co. mengatakan instrumen EBA masih memiliki ketidakpastian terkait aset dasar yang diagunkan apakah benar-benar terpisah dari kegiatan operasional korporasi atau tidak.
“Kami pikir dalam melihat kelayakan penerbit EBA harus sama seperti melihat risiko penerbit obligasi,” ujarnya.
Adapun, pemerintah China membuat langkah seperti pengetatan akses kredit untuk mengendalikan risiko pada pasar keuangan. Hal itu dilakukan karena Negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia itu tengah mengalami kondisi ekonomi terburuk dalam seperempat abad terakhir.
Di sisi lain, untuk penerbitan obligasi, sejak Oktober 2016, investor menuntut imbal hasil surat utang korporasi menjadi lebih tinggi dengan alasan kondisi moneter yang mengetat.
Tekanan terkait masalah keuangan korporasi di China pun bertambah setelah banyak transaksi yang pembayarannya ditunda oleh para klien.
Dengan kondisi itu, Euler Hermes Group menyebutkan, tingkat kebangkrutan korporasi di China meningkat 20% pada 2016, sedangkan pada 2017 diprediksi akan meningkat 10%.
Hal itu yang mendorong tingkat penerbitan EBA di China meningkat drastis pada tahun lalu. Sepanjang tahun lalu, secara nila EBA yang dijajakan melonjak 130% menjadi 455,2 miliar yuan atau US$65,7 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dari segi pertumbuhan penerbit bertambah 54% sepanjang 2016, persentase itu lebihh tinggi ketimbang pertumbuhan penerbit EBA pada 2015 yang sebesar 33%. Angka pertumbuhan EBA itu berbanding terbalik dengan pertumbuhan kredit perbankan yang justru susut sebesar 4,6% sepanjang 2016.
Selain gencar menerbitkan EBA, korporasi di China pun menjual tagihan penjualan atau transaksi kliennya yang belum dibayar kepada perusahaan jasa keuangan demi mendapatkan pendanaan.