Bisnis.com, JAKARTA - Praktisi hukum menilai rancangan Undang-undang No.5/1999 masih perlu beberapa perbaikan. Kendati begitu, tidak semua poin perubahan di dalamnya berdampak buruk bagi persaingan usaha di Indonesia.
Amendemen UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini diharapkan mengatur bagaimana pelaku usaha dapat mengubah perilaku antipersaingan. Dengan begitu, pelaksanaan dari undang-undang ini akan efektif, alih-alih menghukum pelaku usaha secara berlebihan.
Pengacara dari kantor hukum Total Consulting Rian Hidayat mengatakan RUU Persaingan Usaha harus mampu mengatur hukum bisnis di Indonesia berjalan dengan lancar. Esensi utama dari hukum persaingan usaha adalah membentuk karakter pelaku usaha yang bersaing sehat. Oleh karena itu, denda yang belebihan kepada pelaku usaha dianggap kurang cocok dengan penerapan UU Persaingan Usaha.
Rian merujuk pada salah satu poin perubahan yang menghukum pelaku usaha hingga Rp2 triliun atau ancaman hukuman pidana dua tahun. Denda ini dibebankan ke pelaku ushaa apabila tidak melaksanakan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
“Perbaikan dalam amendemen ini harus memperjelas mekanisme denda. Efek jera denda berlebihan itu adalah ranah pidana. Dalam hukum persaingan, efek jera dijadikan opsi terakhir. Jangan berebihan,” katanya kepada Bisnis, Selasa (29/11/2016).
Meskipun demikian, dia menyambut positif dengan perubahan denda berdasarkan omzet sebesar 5% hingga 30%. Menurutnya takaran ini dinilai lebih jelas ketimbang denda sebelumnya yang tidak ada takarannya.
Dia menambahkan selama 17 tahun, denda yang diputus oleh majelis komisi KPPU kepada para pelaku usaha tidak ada hitungan yang jelas. Para praktisi hukum dan terlapor sering mempertanyakan dari mana majelis komisi mendapatkan hitungan nilai denda untuk masing-masing terlapor.
Hitungan tersebut, lanjut dia, tidak dibuka ke publik. Terkadang, perusahaan terlapor yang profitnya kecil didenda lebih besar ketimbang perusahan-perusahaan yang meraup profit anti persaingan yang tinggi.
“Setidaknya RUU ini lebih baik karena ada hitungan pasti, bukan metode menghitung kancing yang selama ini dilakukan majelis KPPU,” tuturnya.
Rian menambahkan, perubahan notifikasi merger dari pascanotifikasi menjadi pranotifikasi dianggap lebih efektif dan menguntungkan pelaku usaha dari segi biaya. Pelaku usaha akan diberi batasan-batasan oleh KPPU di awal notifikasi. Dengan begitu, apabila merger dibatalkan di awal maka pelaku usaha tidak keluar biaya begitu banyak.
Hal ini berbeda dengan konsep pascanotifikasi atau post-notification ketika KPPU dapat membatalkan aksi merger yang telah sah secara hukum. Padahal, biaya merger atau akuisisi sangat besar. konsep pascanotifikasi, ujarnya, cenderung merugikan pelaku usaha.
“Namun, detail-detail premerger ini harus dikawal lagi praktiknya seperti apa, dari pengiriman data hingga pelaksanaanya. Harus disepakati sampai sejauh mana.”
Nurmalita Malik, Pengacara dari HADS Partnership Law Office menyatakan hal serupa terkait poin perubahan pascanotifikasi menjadi pranotifikasi. Dia menilai konsep ini tidak terlalu buruk bagi pelaku usaha. Hal ini dinilai memudahkan pelaku usaha mendapatkan kepastian bisnisnya.
Namun, dia meminta KPPU harus berkomitmen penuh terhadap perubahan konsep tersebut. “Pertanyaannya KPPU siap atau tidak dengan sumber daya manusianya,” ujarnya.
KPPU, lanjut dia, harus bekerja serba cepat dan tanggap dalam mengambil keputusan pranotifikasi.
Sebagai praktisi hukum, Nurmalita mengungkapkan keberatannya terhadap penambahan kewenangan KPPU. Menurutnya, hak menggeledah, menyita dan menyadap yang diberikan oleh Komisi VI DPR ini melanggar kode etik penyidikan dan hak asasi manusia.
Dia menilai kewenangan yang ada selama ini sudah cukup besar. Pasalnya, KPPU memiliki peran berlipat dari penyelidkan, penuntut dan pemutus perkara. Oleh karena itu, kewenangan tambahan tersebut tidak perlu ditambahkan.