Bisnis.com, JAKARTA - Bertambahnya cakupan jenis merek pada Undang-undang Merek dan Indikasi Geografis yang baru saja disahkan dinilai memerlukan sosialiasi ekstra. Pasalnya, merek suara, tiga dimensi dan hologram masih belum lazim di kalangan masyarakat Indonesia.
Konsultan Kekayaan Intelektual Muhammad Faisal mengatakan penambahan jenis merek yang mengadopsi Pakta Singapura tersebut masih susah diterapkan di Indonesia.
Pemerintah harus menjelaskan secara rinci tentang definisi masing-masing jenis merek dan cara pendaftarannya.
Kendati begitu, dia mengapresiasi keputusan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham yang mencoba mengakomodasi keperluan pendaftar merek suara, tiga dimensi maupun hologram.
“Kuncinya ada di sosialisasi yang terus-menerus. Pemerintah saja tidak cukup. Jadi ini tugas konsultan kekayaan intelektual dan media yang turut mensosialisasikan,” katanya kepada Bisnis, Rabu (9/11/2016).
Faisal beranggapan mayoritas pendaftar merek di Indonesia masih didominasi pendaftaran merek konvensional berupa tulisan maupun desain. Jenis merek itu pun bahka masih banyak yang disengketakan karena persaman desain sebagian maupun selurunya.
Dengan begitu, lanjut dia, akan lebih baik apabila revisi difokuskan pada perbaikan subjek dan konten merek.
Dia menilai perubahan pada UU No.15/2001yang paling signifikan adalah penggunaan sistem Protokol Madrid. Hal ini dinilai memudahkan pengusaha yang hendak mendaftarkan mereknya di luar negeri. Pendaftaran hanya cukup dilakukan di kantor konsultan KI dan DJKI.
Konsultan KI dari kantor hukum IMPLAW Muchlis Mansur menyatakan Indonesia belum siap mengadaptasi Pakta Singapura. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus memperhatikan penilaian subjektivitas dari merek barang atau jasa pada UU Merek yang, ketimbang memasukkan cakupan jenis merek.
Hal itu dinilai akan menimbulkan kesulitan baru bagi pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan atas produk yang tercantum di Pakta Singapura.
“Bukannya meremehkan para pemeriksa [examiner]. Namun aturan yang ada di UU No. 15/2001 saja masih banyak yang belum jelas persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Indonesia belum saatnya memasukkan produk aroma, suara, hologram dan tiga dimensi dalam UU Merek yang baru,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual harus teliti dalam menentukan produk merek tiga dimensi yang harus memperhatikan rezim desain. Hal ini untuk menghindari tumpang tindih atau kerancuan persepsi antara merek tiga dimensi dengan desain industri.