Kabar24.com, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong pemerintah untuk mengatur ulang kedudukan bukti elektronik pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan langkah itu perlu dilakukan karena pascaputusan tersebut dibutuhkan pengaturan kembali tentang kedudukan bukti elektronik dan prosedur perolehannya dalam sistem peradilan pidana.
"Sebelumnya, dalam undang-undang itu, dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah. Namun, putusan MK itu menyatakan bukti elektronik sah jika ada permintaan dari aparat penegak hukum," katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (21/10/2016).
Dia tak menampik bahwa putusan itu di satu sisi berimplikasi positif bagi penegakan hukum penyadapan di Indonesia, karena penyadapan dan rekamannya jika dijadikan sebagai bukti haruslah sesuai dengan undang-undang.
Namun sisi lainnya, kondisi itu justru mempersempit penggunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik dalam penegakan hukum. Hal itu dikarenakan, MK tampaknya menyamakan pengertian intersepsi, penyadapan dengan perekaman (elektonik).
"Dalam konteks hukum intersepsi dan penyadapan apa yang menjadi pertimbangan MK cukup tepat, namun dalam situasi merekam atau perekaman informasi, oleh individu maka pertimbangan MK jauh melampaui situasi yang diharapan dalam penegakan hukum pidana," imbuhnya.
Oleh karena itu, dalam menyikapi hal itu mereka mengingatkan kembali kepada pemerintah agar pemerintah mulai mempersiapkan Undang-Undang Khusus tentang Penyadapan dan mendorong agar pemerintah membuat regulasi khusus tentang penyadapan.
Menurutnya, tanpa pengaturan ulang kedudukan bukti elektronik terutama dalam penggunaannya dalam sistem peradilan pidana akan menyebabkan kekacauan dalam penegakkan hukum terutama untuk melindungi kepentingan tidak hanya tersangka/terdakwa tetapi juga untuk melindungi kepentingan korban kejahatan.