Kabar24.com, JAKARTA - Komisi III DPR RI meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut keterlibatan korporasi dalam perkara kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Penanganan karhutla perlu dilakukan, karena nilai kerugiannya cukup signifikan.
Mengutip data dari World Bank, dampak ekonomi akibat kebakaran itu mencapai US$16 miliar. Sehingga, dengan potensi kerugian tersebut, dewan meminta aparat penegak hukum termasuk kejaksaan tidak pandang bulu mengungkap pelaku kejahatan lingkungan.
“Sesuai data World Bank pada tahun 2015 angkanya segitu. Angka itu di atas kasus yang ditangani oleh penegak hukum yang hanya mengembalikan kerugian negara sekitar Rp3 triliun,” kata anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR, Senin (26/9/2016).
Menurutnya, permintaan tersebut bukannya tanpa sebab. Dia menganggap, banyak pelaku kejahatan hutan terutama korporasi besar banyak dihentikan atau diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Di Provinsi Riau misalnya, ada sekitar 15 kasus karhutla yang dihentikan perkaranya. Polda Riau waktu itu menyatakan, penghentian kasus itu dilakukan karena tidak cukup alat bukti.
“Proses SP3 tersebut apakah sudah benar atau tidak, namun di mata publik hal itu tetap janggal. Karena kejaksaan sendiri belum menerima SPDP terkait pemberhentian perkara tersebut,”imbuh anggota panitia kerja (Panja) Karhutla itu.
Berkaca pada kasus tersebut, dia menganggap aparat hukum cenderung diskriminatif dalam penuntasan perkara karhutla. Kasus kebakaran yang menyangkut perorangan, kata dia, penegak hukum termasuk kejaksaan amat cepat melakukan pengungkapan, namun giliran pelaku korporasi kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya seperti kehilangan taringnya.
Selain perkara pidana, dia juga meminta kejaksaan selaku pengacara negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap korporasi yang diduga menjadi pelaku pembakaran hutan.
Hal itu diperlukan, karena dalam beberapa kasus negara kerap kalah menghadapi korporasi pelaku pembakaran hutan, padahal kerusakan dan kerugian negara yang ditimbulkan akibat perkara tersebut tak bisa dianggap sedikit.
Mengutip hasil kajian World Bank, kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan pada tahun lalu melampaui US$16 miliar. Jumlah itu dua kali lebih besar akibat bencana tsunami di Aceh tahun 2004 atau 1,8% produk domestik brutto (PDB). Estimasi itu dihitung berdasarkan, kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata, dan sektor pendapatan negara lainnya.
Angka di atas belum termasuk kerugian lingkungan. Menurut mereka, kerugian lingkungan jika dikalkulasikan juga tak kalah besarnya. Mereka mencatat meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan diperkirakan bernilai US$295 juta.