Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pegawas Persaingan Usaha memutuskan menyidangkan perkara baru terkait dugaan praktik monopoli penjualan dan pendistribusian gas di Indonesia. Perkara tersebut telah melalui proses penyidikan selama dua tahun terakhir oleh tim investigator.
Ketua Komisi Pegawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan perkara dugaan monopoli gas telah disetujui majelis komisi pada Selasa (6/9) untuk masuk agenda sidang pada akhir tahun ini. Menurutnya, bukti-bukti dan data yang dimiliki oleh investigator dinilai sudah kuat.
Adapun indikasi monopoli pada sektor gas terlihat dari mahalnya harga gas. Tim investigator mengitung terdapat kesenjangan harga mulai dari harga di hulu, harga di transportasi dalam pipa dan kapal hingga harga di pengguna akhir atau end user.
“Atas dasar itu [harga gas yang mahal], kami melakukan investigasi apakah ada dugaan praktik monopoli atau tidak. Semua bisa terungkap dalam persidangan,” katanya kepada Bisnis, Rabu (7/9/2016).
Dia menambahkan proses investigasi berlangsung di Medan selama dua tahun. Perkara ini muncul dari laporan dan keluhan oleh pelaku usaha dan industri yang resah karena harga gas terlampau mahal.
Data Dewan Energi Nasional mengungkapkan harga gas awal dari produsen adalah US$4 hingga US$5 per MMbtu. Namun, harga yang jatuh pada end user mencapai dua kali lipat dari harga awal, yaitu US$9 sampai US$10 per MMbtu.
Syarkawi melanjutkan harga gas telah melebihi (excessive) dari batas harga wajar gas alam. Hal ini tidak lain karena panjangnya rantai distribusi gas untuk sampai ke konsumen akhir.
Oleh karena itu, KPPU menyelidiki Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai satu-satunya terlapor dalam kasus dugaan praktik monopoli gas.
Terkait tingginya harga gas dalam negeri, Syarkawi mengkritik kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Permen ESDM NO.37/2015. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini mengizinkan trader dengan leluasa menyalurkan gas tanpa harus membangun infrastruktur kilang dan pipa gas.
Syarkawi menilai awal dicetuskannya Permen tersebut memiliki niat yang baik yaitu untuk memisahkan domain bisnis antara perusahaan pemilik gas dengan perusahaan infrastruktur gas. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah munculnya trader yang kurang kompeten dalam menyalurkan gas.
“Yang kini menjadi masalah adalah munculnya trader. KPPU meminta agar trader ini distandarisasi. Boleh menjadi trader asal paham betul bisnis gas, tidak asal-asalan,” ungkapnya.
Selama ini, harga gas dilempar ke mekanisme pasar. Oleh karena itu, para trader ini yang berperan dalam menentukan harga.
TRADER ABAL-ABAL
Ketua Bidang Energi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Andhika Anindyaguna mengatakan praktik monopoli penyaluran gas ini menyuburkan maraknya trader abal-abal tanpa modal.
“Kita temukan ada monopoli penyaluran gas, akibatnya calo gas abal-abal yang bermodalkan selembar kertas juga bisa masuk,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Bisnis, Rabu (7/9).
Akibat praktik monopoli tersebut, lanjut dia, trader gas yang bonafid dan ingin membangun infrastruktur distribusi gas di tanah air tidak bisa masuk. Alhasil, harga gas melambung sehingga merugikan masyarakat dan merusak daya saing industri.
Andhika menambahkan, monopoli distribusi didukung oleh Permen ESDM NO.37/2015. Dia berharap pemerintah segera merevisi aturan tersebut sehingga dapat mengatasi keberadaan trader abal-abal. Pasalnya, praktik monopoli penyaluran gas mengakibatkan tidak adanya persaingan harga gas, karena penentu harga hanya satu.
Menurutnya, saat ini terdapat sekitar 60 perusahaan trader gas di Indonesia. Namun sebagian perusahaan hanya bermodalkan secarik kertas atau calo pemburu rente.