Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dihukum Rp1,07 T, Anak Usaha Sampoerna Agro Kalah Telak di Pengadilan

PT National Sago Prima dihukum untuk membayar denda Rp1,07 triliun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akibat kasus kebakaran hutan dan lahan di Kepulauan Meranti, Riau.
Petugas Manggala Agni berusaha memadamkan kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut di Rimbo Panjang, Kampar, Riau, Minggu (6/9)./Antara
Petugas Manggala Agni berusaha memadamkan kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut di Rimbo Panjang, Kampar, Riau, Minggu (6/9)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - PT National Sago Prima dihukum untuk membayar denda Rp1,07 triliun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akibat kasus kebakaran hutan dan lahan di Kepulauan Meranti, Riau.

Anak perusahaan dari PT Sampoerna Agro Tbk., ini dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar bertanggung jawab atas kerusakan ekologis dan ekonomis yang timbul dari aksi karhutla dalam kurun 30 Januari 2014 hingga Maret 2014.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Effendi Mukhtar menyatakan bahwa PT National Sago Prima (NSP) selaku tergugat terbukti telah lalai mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan seluas 3.000 ha. Oleh karena itu, gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dikabulkan sebagian.

“Mengabulkan gugatan penggugat sebagian dengan menghukum tergugat membayar ganti rugi atas kerugian ekologis dan ekonomis senilai Rp319 miliar dan menghukum tergugat melakukan pemulihan lahan dengan nilai Rp753 miliar,” katanya dalam sidang putusan,” Kamis (11/8/2016).

Adapun rincian kerugian ekologis antara lain untuk biaya penyimpanan air, pembuatan dan pemeliharaan reservoir, biaya pengendalian erosi, pemeliharaan limbah, biaya daur ulang unsur hara, keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik.

Kendati demikian, majelis hakim menolak gugatan pemerintah sehubungan dengan sita aset jaminan milik tergugat.

Pertimbangan majelis hakim, lanjut Effendi, didasarkarkan pada tiga aspek yaitu terjadinya pencemaran lingkungan di Kepulauan Meranti, adanya kerusakan sarana dan prasarana milik publik dan tidak adanya izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik PT NSP.

“Kami memberi waktu kepada kedua belah pihak selama 14 hari untuk pikir-pikir dahulu terkait putusan ini. Apakah menerima atau melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,” tutupnya.

Kuasa hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Patra M. Zein dari kantor hukum Patra M Zen & Partners mengatakan puas dengan putusan majelis hakim pada perkara Nomor 591/Pdt.G-LH/2015/PN. Jkt Sel.

Meski hanya sebagian yang dikabulkan, total gugatan kerugian materi senilai Rp1,07 triliun diterima.

“Putusan ini kalau ibarat tendangan ya seperti tendangan telak. Semua angka yang diminta dikabulkan oleh hakim. Yang tidak diterima hanya sita jaminan saja,” katanya selepas persidangan.

Patra menambahkan pihaknya tidak menutup kemungkinan apabila kubu tergugat mengajukan banding. KLHK akan bersiap-siap meladeni PT NSP di pengadilan tinggi.

Menurutnya, PT NSP telah jelas lalai mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan dalam kegiatan usahanya di Kepulauan Meranti, Riau.

Lahan PT NSP yang terbakar yaitu seluas 3.000 ha yang terdiri dari 2.000 ha lahan produktif dan 1.000 ha kawasan produktif. Adapun total lahan yang dimiliki oleh PT NSP di area tersebut seluas 21.418 ha. PT NSP, lanjut dia, sengaja membakar hutan sebagai aksi land clearing.

Ditemui di kesempatan yang sama, kuasa hukum PT NSP Rofiq Sungkar dari kantor hukum Lubis Ganie Surowidjojo mengatakan pihaknya akan mengajukan banding lantaran putusan hakim dianggap tidak masuk akal.

Menurutnya, hakim yang benar-benar paham isu karhutla akan mengaggap kebakaran di Kepulauan Meranti adalah murni bencana alam.

“Tadi kan ada tiga hakim. Salah satu hakim adalah hakim ahli lingkungan yang menyatakan kebakaran itu adalah bencana alam. Kalau merujuk ke satu hakim tesebut, seharusnya kami tidak dituntut sama sekali,” ujarnya.

Rofiq menyatakan pihaknya telah mendatangkan saksi ahli yang paham ekologi lingkungan. Mereka secara tegas mengatakan bahwa ganti rugi dari kubu pemerintah tidak masuk akal dan dibuat-buat.

Pasalnya, lahan tersebut bukan rusak akibat ulah manusia melainkan murni bencana alam karena teriknya matahari dan puntung rokok. Selain itu, kerugian ekologis terkait reservoir juga tidak berdasar lantaran lahan milik PT NSP adalah lahan gambut yang selama ini tidak membutuhkan reservoir.

Pihaknya juga mengklaim kliennya mengalami kerugian besar karena sagu siap panen milik perusahaan ludes terbakar. Adapun pendapatan dari panen sagu juga berkurang drastis.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper