Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak bisa memperkarakan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian yang menginstruksikan 12 perusahaan pembibitan unggas melakukan apkir dini indukan ayam (parent stock).
Hal itu dikemukakan pakar ekonomi Faisal Basri saat menjadi saksi pada sidang lanjutan perkara dugaan kartel ayam di KPPU, Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Faisal Bsri menyatakan jika ada kebijakan pemerintah yang dinilai membuka ruang bagi persaingan usaha tidak sehat, yang dapat dilakukan KPPU memberikan saran dan masukan kepada pemerintah, bukan dengan menghukum pelaku usaha yang menjalankan instruksi pemerintah.
Dalam UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata dia, sudah diatur terkait kebijakan yang diambil pemerintah, tugas KPPU adalah memberi saran atau masukan bukan dengan menjatuhkan hukuman. "Adapun pelaku usaha dalam perkara apkir dini hanya sebatas patuh dan menjalankan aturan pemerintah," katanya.
"Apkir dini paret stock bukan kesepakatan kartel. Perusahaan pembibitan ayam merugi lantaran harus memotong ayam yang masih produktif," tutur Faisal.
Pasokan berlebih Kebijakan apkir dini yang diterapkan Kementerian Pertanian merupakan upaya untuk mengoreksi kebijakan sebelumnya yang ternyata merugikan industri ayam terutama peternak kecil.
Faisal menjelaskan kebijakan yang dimaksudkan adalah saat membuka kran impor GGPS (great grand parent stock) yang pada akhirnya membuat pasokan anak ayam (DOC) berlebih sehingga berimbas pada harga ayam hidup di tingkat peternak jatuh di bawah harga pokok produksi.
Oversupplay DOC tersebut, tambahnya dipicu oleh kebijakan pemerintah yang membolehkan perusahaan mengimpor GGPS pada 2013 untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan daging ayam, bahkan impor GGPS pada 2013 mencapai tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.
Dia mengatakan kebijakan apkir dini dilakukan sebagai upaya melindungi peternak kecil dan industri yang sehat, sebab jika tidak ada tindakan segera maka mereka akan berguguran karena harus menanggung rugi akibat harga jual ayam yang lebih rendah dari harga pokok produksi.
"Kalau tidak ada tindakan segera dan kondisi oversupplay berlanjut maka peternak kecil akan bangkrut atau dicaplok oleh segelintir perusahaan besar yang punya modal kuat dan daya tahan menghadapi jatuhnya harga. Hal ini jsutru membuat pasar tidak sehat," ujar mantan komisioner KPPU itu.
Pada akhir 2015 Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan membuat kebijakan berupa instruksi pengapkiran enam juta ekor indukan ayam kepada 12 perusahaan, guna memperbaiki harga ayam hidup di tingkat peternak yang saat itu jatuh dibawah harga pokok produksi akibat kelebihan pasokan DOC.
Harga anjlog Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Insan Unggas Rakyat (Pinsar) Indonesia, Hartono menyatakan, di tahun 2014 kelebihan pasokan DOC sebesar 17 juta/minggu atau 6,8 juta PS, yang mana hal ini berdampak pada harga ayam hidup di tingkat peternak anjok dari Rp23.000 menyentuh hingga Rp12.000/kg.
Bahkan di beberapa kota mencapai Rp8.000/kg, sementara biaya pokok produksi sekitar Rp15.000-Rp16.000/kg, belum termasuk biaya operasional Rp1.500 - Rp2.000/kg.
Dengan kondisi tersebut maka setiap peternak harus menanggung kerugian lebih dari Rp4000/kg atau 20 persen dari modal usaha, akibatnya banyak peternak rakyat yang bangkrut.
Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah kemudian membuat kebijakan 'win-win solusi" yang mana industri peternakan yang besar maupun kecil sama-sama bisa bertahan hidup, dengan apkir dini.
"Kalau kemudian KPPU menghentikan kebijakan apkir dini hanya untuk membela konsumen dan tanpa memberikan jalan keluar maka berarti lembaga ini ingin mematikan UMKM perunggasan," katanya.