Kabar24.com, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan pemerintah perlu melakukan moratorium atas pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Pasalnya, ICJR memandang sejumlah kasus cukup bermasalah secara fair trial.
Supriyadi Eddyono, direktur eksekutif ICJR mengungkapkan pihaknya telah mendapat kabar bahwa informasi eksekusi telah disampaikan kepada keluarga terpidana mati lewat beberapa kedutaan asal terpidana.
“ICJR prihatin atas policy yang didorong oleh pemerintah yang masih bersikeras melakukan eksekusi mati, walaupun Pemerintah Indonesia telah berulang kali menyatakan bahwa mereka menerapkan hukuman mati sesuai dengan hukum dan standar internasional,” ujar Supriyadi dalam keterangan persnya, Minggu (24/7/2016).
Dia menuturkan berdasarkan pantauan ICJR, ada beberapa kasus yang diduga unfair trial yang masuk daftar eksekusi mati saat ini yakni, pertama kasus Yusman Telaumbanua berasal yang dari Riau.
Yusman bekerja sebagai buruh perkebunan. Dia meninggalkan sekolah dasar dan tidak dapat membaca atau menulis. Menurut polisi dia lahir pada tahun 1993, namun Yusman mengaku dia lahir pada tahun 1996, yang berarti dia bisa jadi berusia di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan dan ketika dia dijatuhi hukuman mati.
Yusman dipidana dan dijatuhi hukuman mati atas pembunuhan tiga orang pada April 2013 di kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Dia tidak mengajukan banding karena tidak diberitahu oleh pengacaranya bahwa dia memiliki hak untuk mengajukan banding.
Dalam putusan PN Gunung Sitoli Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS Hakim PN Gunung Sitoli menyatakan bahwa pengakuan terpidana mati dan permohonan Penasehat Hukum Terpidana mati agar terpidana mati dihukum mati menjadi alasan keduanya dihukum mati, padahal sebelumnya jaksa menuntut keduanya dengan hukuman seumur hidup.
Pembela Yusman yang baru saat ini mendorong PK berdasarkan Novum bukti forensik gigi Yusman yang pada saat disidik ternyata masih anak-anak.
Kedua, Mary Jane Veloso, warga negara Filipina berusia 30 tahun, dia bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Dia dihukum dan dijatuhi hukuman mati karena perdagangan narkoba [mengimpor heroin ke Indonesia] pada tahun 2010. Eksekusi matinya dihentikan pada menit terakhir pada 29 April 2015, sehingga dia bisa memberikan kesaksian di persidangan atas orang yang dituduh memperdayanya untuk menjadi kurir narkoba. Mary Jane diduga kuat sebagai korban perdagangan manusia.
Ketiga, Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan berusia 51 tahun yang merupkan seorang pengusaha garmen. Dia ditangkap di rumahnya di provinsi Jawa Barat pada 21 November 2004, dan didakwa dengan kepemilikan 300g heroin. Dia dipidana dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 2005. Putusannya dikukuhkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2006.
Zulfiqar Ali, saat disidik hanya paham sedikit bahasa Inggris, juga menerima bantuan penerjemahan terbatas dan hanya mendapat terjemahan ke dalam bahasa Inggris selama proses persidangan. Dalam Putusan MA No. 2253 K/PID/2005 dengan terpidana mati Zulfikar Ali, terpidana mati dan beberapa saksi bahkan memberikan pengakuan telah diintimidasi dan disiksa oleh penyidik, hasilnya, mereka bersama-sama mencabut keterangan pada saat di BAP.
Dalam bukti rekaman persidangan yang dilampirkan kuasa hukum Zulfikar Ali pada memori kasasi, terungkap bahwa terpidana mati, saksi Ginong Pratidina dan saksi Gurdip Singh mencabut BAP dikarenakan adanya tekanan fisik dan mental pada tahap penyidikan.
ICJR bersama dengan organisasi masyarakat lainnya mendorong agar pemerintah segera melakukan review menyeluruh terhadap kasus-kasus yang dicurigai melanggar Fair Trial tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR meminta agar pemerintah melakukan moratorium hukuman mati dan membentuk Tim Independen (berdasarkan keppres) untuk mendalami kasus-kasus unfair trial di Indonesia.
Pemerintah diharapkan membentuk badan yang independen dan imparsial, untuk meninjau semua perkara hukum yang mana terjadi penjatuhan hukuman mati, dengan maksud untuk meringankan hukuman mati terutama dalam perkara yang mana hukuman mati dijatuhkan pada yang tidak memenuhi standar-standar peradilan yang adil, atau dalam perkara yang secara prosedural cacat.