Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

2.000-an Desa di Jateng Rawan longsor

Sebanyak 2.024 desa di Jawa Tengah dinilai rawan longsor berdasarkan evaluasi dari Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral setempat dalam kurun 8 tahun terakhir.
Tanah longsor/Istimewa
Tanah longsor/Istimewa

Kabar24.com, SEMARANG—Sebanyak 2.024 desa di Jawa Tengah dinilai rawan longsor berdasarkan evaluasi dari Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral setempat dalam kurun 8 tahun terakhir.

Hasil evaluasi itu dilakukan sejak 2002 sampai 2010 atawa selama 8 tahun, yang menyatakan jumlah desa rawan bencana pada posisi 2.024 desa dari total keseluruhan desa di Jateng berjumlah 7.808 desa.
 
Kepala Dinas ESDM Provinsi Jateng Teguh Dwi Paryono menyatakan evaluasi itu membutuhkan waktu yang cukup lama dari 5 sampai 7 tahun karena biasanya terjadi perubahan signifikan pada morfologi batuan. Tebing-tebing yang mempunyai kemiringan curam terganggu kestabilan.
 
“2.000-an desa rawan longsor berdasarkan hasil evaluasi mendalam. Kami belum mengevaluasi pada posisi 2016, karena membutuhkan waktu lama,” ujarnya, Rabu (13/7).
Namun demikian, Teguh mencatat sejak April sudah ada 20 kejadian longsor, Mei terdapat 15 kejadian dan Juni ada 18 kejadian longsor.

Menurutnya, perubahan tata guna lahan yang dilakukan penduduk di daerah rawan longsor juga semakin intensif. Kondisi tersebut membuat potensi longsor semakin besar.
Dari kajiannya, dia membeberkan daerah yang tahun ini terjadi bencana longsor sudah pernah terjadi kejadian serupa tahun lalu. “Kami sudah prediksi. Masalahnya adalah tahun-tahun yang sebelumnya tidak terjadi bencana. Ini yang kemudian menyebabkan masyarakat terlena dengan kejadian-kejadian yang sudah pernah terjadi,” tuturnya.

Teguh berpendapat lokasi yang pernah terjadi longsor semestinya tidak layak dimanfaatkan sebagai hunian. Pasalnya, saat terjadi curah hujan tinggi dan muncul retakan, pasti akan longsor. Apalagi lokasi penduduk dekat sekali dengan tebing yang kemiringannya sangat tinggi.
Pihaknya sebenarnya sudah melakukan pemetaan untuk relokasi dan sudah disampaikan ke kepala daerah terkait.
Kendalanya, yakni pada lahan yang akan dibebaskan, status lahan dan masyarakatnya setempat enggan meninggalkan lokasi tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun.
Dalam hal ini, Dinas ESDM Provinsi Jateng sudah semaksimal mungkin menanggulangi bencana, antara lain dengan melakukan pelatihan bersama BPBD kabupaten/ kota rutin setiap tahun menyangkut tanda-tanda terjadi bencana dan apa yang harus dilakukan.
“Yang paling utama kami sangat mendukung untuk membentuk desa tangguh bencana,” ujarnya.
Di sisi lain, jumlah alat early warning system (EWS) yang saat ini terpasang juga masih sangat kurang. Hingga 2015, ESDM baru memasang 38 alat dan BPBD 14 alat. Keberadaan EWS sangat dibutuhkan, karena cakupan bencana semakin luas.
 
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menilai, catatan 2.024 desa rawan longsor yang diberikan Dinas ESDM sangat membantu pejabat pemerintah setempat dalam melakukan penanggulangan bencana longsor. Namun, dia meminta agar kembali dilakukan evaluasi, mengingat sebentar lagi sudah memasuki periode evaluasi.
“Sambil menunggu evaluasi berikutnya, catatan 2.024 desa ini kita garap saja. Tempatnya dimana, kadesnya siapa, kita siapkan,” imbuhnya.
 
Lebih lanjut, pihaknya akan meminta data detilnya agar penanganan bencana lebih komprehensif. Praktik di lapangan, Ganjar akan menggerakan kepala desa dan bupati terkat untuk membuat desa tangguh bencana.
 
“Jika tidak dari provinsi yang inisiatif, risikonya masyarakat akan kena lebih banyak,” ujarnya.
 
Dinas ESDM juga diminta untuk memberikan grading untuk mengetahui dengan jelas mana-mana wilayah yang paling rawan bencana longsor. Sehingga, intervensi di daerah paling rawan tersebut bisa diberikan dengan tepat.
 
“Pikiran saya, minimal kita kasih tanda-tanda bencana, kita latih mereka paling tidak dua kali setahun oleh tim Pengurangan Risiko Bencana (PRB), jalur evakuasi kita siapkan, EWS kita pasang, dan membuat masyarakat jadi peka terhadap kondisi. Terakhir doanya agak rutin. Ini penting. Doa itu di luar ilmu pengetahuan manusia,” ucapnya.
 
Korban bencana beberapa waktu lalu, imbuhnya, bisa dilatih untuk menjadi agen tanggap bencana. Harapannya dia bisa memberikan testimoni. Tokoh agama dan tokoh masyarakat pun perlu untuk terus menyampaikan bahwa mereka hidup di daerah bencana.
 
Mengenai alat EWS, Ganjar berupaya bisa memasang di 2.024 desa rawan longsor. Baik dengan meminta bantuan BNPB, pemerintah kabupaten/ kota, atau mencari funding.
 
“Minimal di 2.024 desa terpasang semua. Satu desa alatnya bisa banyak itu karena titik-titiknya, coveragenya kecil-kecil. Ini yang coba kita dorong,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper