Kabar24.com, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk menyatakan sikap dan dukungan atas putusan The Permanent Court of Arbritase (PCA) antara China dan Filipina.
Sikap tersebut akan menegaskan posisi Indonesia kepada China atas tindakannya yang tidak mengakui keputusan PCA yang mengabulkan gugatan Filipina terhadap klaim Cina atas wilayahnya di sekitar Laut Cina Selatan.
Dalam keterangan persnya, ketua KNTI Marthin Hadiwinata mengungkapkan setidaknya terdapat tiga alasan utama Pemerintah Indonesia untuk mendukung keputusan tersebut mengingat besarnya nilai sumber daya di Laut Cina Selatan .
Pertama, pernyataan sikap dan dukungan tersebut akan memberikan keuntungan kepada Indonesia terkait dengan sengketa klaim batas-batas wilayah maritim di Laut Cina Selatan.
Pasalnya, Indonesia telah berulang kali menerima pelanggaran hukum laut internasional oleh China dengan tindakan sewenang-wenang memasuki wilayah perairan Indonesia.
“Tindakan kapal perikanan berbendera China secara tanpa izin memasuki wilayah zona ekonomi Indonesia untuk menangkap ikan dan teriindikasi merupakan pelanggaran Illegal Unregulated Unreported Fishing. China melanggar batas wilayah Indonesia dengan memasuki perairan Natuna (WPP 711) yang merupakan wilayah hak berdaulat Indonesia,” ungkapnya, Kamis (14/7/2016).
Kedua, China sebagai pihak yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 sejak 7 Juni 1992 termasuk pihak yang tunduk pada ketentuan UNCLOS 1982.
Selama ini, China mengklaim wilayah Laut Cina Selatan dengan Sembilan Garis Putus (Nine Dash Lines) imajiner yang menjadi penanda batas wilayah maritim sebagai zona ekonomi ekslusif Cina. Sehingga, dengan berlandaskan pada klaim tersebut Cina melakukan pembangunan pangkalan militer termasuk melakukan pembuatan pulau reklamasi (artificial island) secara sepihak.
Putusan PCA ini secara tegas menghilangkan klaim sepihak dari China yang akan berdampak kepada Negara Anggota Asean lain yang berhubungan dengan China.
Ketiga, dukungan tersebut akan membantu upaya Indonesia untuk menghapuskan IUU Fishing. selama ini klaim China sebagai negara penghasil produksi perikanan menunjukkan hal yang mencurigakan di mana luas lautnya tidak sebanding dengan sumber daya yang tersimpan.
“Akibatnya angka produksi perikanan sangat tidak jelas kepastian dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” tuturnya.
Tambahya, indikasi permasalahan IUU Fishing tidak hanya terkait dengan kegiatan penangkapan ikan tetapi terkait dengan kegiatan lainnya seperti pengolahan, sehingga mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional untuk memastikan penyelesaian Laut Cina Selatan.
Keputusan PCA tersebut secara tegas menyatakan lima hal utama.
Pertama, tidak ada dasar hukum yang kuat bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya laut yang berada dalam sembilan garis putus.
Kedua, menegaskan status perairan yang diklaim China sebagai Zona Ekonomi Eklusif sebagai hak berdaulat dari Filipina.
Ketiga, China telah melanggar hak berdaulat Filipina dengan melakukan berbagai pelanggaran hukum UNCLOS.
Keempat, adanya ancaman terhadap lingkungan hidup dengan pembangunan yang tidak memenuhi kaidah hukum lingkungan internasional.
Kelima, pengabaian penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh China tidak berlaku karena tidak berdasar hukum dimana sebaliknya dengan tetap melanjutkan kegiatan pembangunan, maka China sesungguhnya melanggar kewajiban negara dalam setiap proses penyelesaian sengketa.