Kabar24.com, JAKARTA - Pada 2010 lalu, Hillary Clinton yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) membuat marah China dengan mendorong isu Laut China Selatan ke urutan teratas dalam agenda keamanan Amerika.
Saat ini, seiring dengan persiapan pengadilan internasional untuk menjatuhkan putusan terkait klaim China di wilayah perairan penting, negara itu menyaksikan laju kampanye Clinton sebagai calon presiden Amerika berikutnya dengan penuh kekhawatiran.
Beberapa faktor seperti sikap keras Clinton terkait hak sasi manusia (HAM) dan perannya dalam mempimpin program Obama :Asian rebalancing, membuatnya terkenal di China, tetapi tidak disukai.
Sementara itu, rivalnya Donald Trump tidak cukup dikenal, meskipun dia pernah membuat jengkel negara itu karena komentarnya yang menyamakan defisit perdagangan Amerika dengan tindakan pemerkosaan oleh China.
“Akan sulit menjadi mitra bagi Clinton,” kata seorang diplomat senior China yang mengaku tidak terlalu mengetahui mengenai Trump seperti dikutip dari Reuters, Selasa (12/7/2016).
China mengingat jelas ketika Clinton dalam Konferensi Keamanan Asia Tenggara di Hanoi pada 2010, melibatkan diri dalam sengketa Laut China Selatan, dan mengatakan akses terbuka dan solusi secara hukum menjadi kepentingan Amerika dan bersifat penting bagi kemanan regional
China dalam tanggapan yang bernada keras kemudian menekankan, bahwa Laut China Selatan adalah sebagai salah satu hal penting bagi negara tersebut. China mengingatkan sejumlah negara lain yang juga mengklaim wilayah tersebut serta negara-negara tetangga untuk tidak berbesar hati atas dukungan dari Amerika.
Putusan pengadilan arbitrase terkait sengketa antara China dan Filipina di Laut China Selatan akan dijatuhkan di Den Haag Belanda pada Selasa (12/7/2016). Ahli hukum memprediksi setidaknya ada beberapa temuan substantif yang bisa digunakan untuk melawan China, yang bersumpah akan mengabaikan putusan tersebut.
Militer China meningkatkan kehadirannya di Laut China Selatan sebagai bagian dari program modernisasi juga mengawasi pemilu Amerika dengan ketat.
“Hillary sangat sengit mengenai hal yang terkait dengan China,” kata seorang pejabat yang dekat dengan kemiliteran.
Trump mendapatkan simpati dari China meskipun dia tidak terlalu dikenal.
“Siapa Trump? Kami tidak terlalu mengenalnya. Kami tahu dia membenci muslim dan hal itu akan diterima oleh beberapa kalangan di sini,” ujar seorang pejabat China yang memiliki hubungan dengan kemiliteran.
China juga menganggap Trump sebagai seorang pebisnis yang bisa diajak bernegosiasi.
“Hal ini akan menjadi cukup transaksional bagi China. Dia adalah seorang pebisnis, mereka [China] berpikir akan dapat mencapai kesepakatan dengannya” kata seorang diplomat senior Barat.
Trump juga kemungkinan tidak sekeras Clinton terkait penegakan hak asasi manusia di China.