Bisnis.com, JAKARTA - Warga Inggris berduka atas hal yang menimpa anggota parlemen Jo Cox, 41, setelah seorang pria menembaknya dengan senjata api dan menusuknya yang membuat referendum pada 23 Juni mendatang menjadi terlantar.
Cox mendukung Inggris untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa. Dia ditembak oleh seorang pria yang menurut para saksi meneriakkan ‘Britain first’
Dia dinyatakan meninggal 48 menit setelah serangan oleh seorang dokter yang bekerja sama dengan tim medis untuk menyelamatkannya. Seorang pria ditahan oleh petugas yang berada di dekat lokasi kejadian. Petugas juga menemukan sepucuk senjata api.
Pembunuhan ini mengharuskan ditundanya kampanye referendum dan menyebabkan semakin berkembangnya kemarahan dan kepahitan termasuk saling tuduh serta debat seputar isu imigrasi dan ekonomi.
Kendati motif pelaku belum diketahui dengan jelas, beberapa orang mengungkapkan rasa simpati atas meninggalnya Cox bisa meningkatkan pemilih kampanye agar Inggris tetap tinggal sebagai anggota Uni Eropa yang hasil polingnya lebih rendah daripada pilihan untuk keluar.
Sementar itu, polisi menyebutkan mereka tidak dalam posisi untuk mendiskusikan motif serangan tersebut.
“Jo percaya bahwa dengan adanya dunia yang lebih baik dan mengatakan dia memperjuangkannya setiap hari dengan segala energi dan semangat ,” ujar suaminya, Brendan seperti dikutip dari Reuters, Jumat (17/6/2016).
Brendan menambahkan bahwa hanya ada dua hal yang almarhum istrinya inginkan yakni agar seluruh anak mendapat kasih sayang dan agar semua bersatu melawan kebencian yang telah menewaskannya.
Sebuah kelompok pendukung hak sipil Amerika Serikat Southern Poverty Law center (SPLC) yang berbasis di Alabama dalam situsnya mengatakan bahwa pihaknya mendapatkan catatan yang menunjukkan bahwa Thomas Mair, pria yang ditahan terkait penembakan Jo, memiliki hubungan dengan organisasi neo-Nazi National Alliance (NA).