Kabar24.com, JAKARTA - Fraksi Partai Gerindra di DPR masih mengkaji wacana revisi Undang-undang Pilkada yang di dalamnya turut mengatur soal syarat persentase dukungan pemilih bagi calon kepala daerah perseorangan (independen).
"Dalam rapat fraksi pekan lalu, sedang dipersiapkan oleh tim internal Gerindra untuk melakukan kajian," ujar anggota Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra Bambang Riyanto dihubungi dari Jakarta, Senin (21/3/2016).
Bambang menyatakan, terkait adanya pro dan kontra atas wacana memperberat syarat dukungan pemilih bagi calon independen, Gerindra saat ini masih menunggu perkembangan dinamika politik.
"Sikap Gerindra masih di posisi wait and see," kata Bambang.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu, syarat dukungan KTP bagi calon kepala daerah independen adalah 6,5-10 persen dari jumlah pemilih pada pemilu sebelumnya. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mengisyaratkan persentase itu berdasarkan jumlah penduduk.
Sejumlah fraksi di Komisi II DPR menilai, syarat bagi calon independen lebih ringan dibanding syarat dukungan yang harus dipenuhi partai politik yakni sebesar 20 persen dari jumlah suara.
Sehingga sejumlah fraksi di Komisi II menilai, syarat dukungan untuk calon independen juga harus diperberat agar berimbang. Wacana yang berkembang adalah sejumlah fraksi menginginkan syarat dukungan bagi calon independen dinaikkan menjadi 15-20 persen dari jumlah pemilih pemilu sebelumnya.
Unsur Keadilan
Ahli hukum tata negara Profesor Dr Jimly Asshiddiqie SH berpendapat wacana memperberat syarat bagi calon kepala daerah independen tidak mengandung aspek keadilan.
Menurut dia, calon independen berbeda dengan partai politik, dan atas perbedaan itu maka keduanya seyogyanya tidak boleh disejajarkan atau disamaratakan dari sisi persyaratan.
"Dalam konteks keadilan, tidak bisa calon independen dibandingkan dengan partai. Keduanya berbeda, dan justru karena berbeda jadinya tidak boleh sama persyaratannya, kalau sama malah tidak adil," ujar Jimly.
Dikatakan, dengan syarat persentase calon independen yang disebut segelintir fraksi tidak berimbang saat ini, jumlah kepala daerah dari jalur independen yang terpilih jumlahnya tidak sampai lima persen dari total kepala daerah di Indonesia.
"Dengan adanya calon independen, itu menyeimbangkan calon-calon dari partai politik. Kalau syarat calon independen diperberat, seolah-olah partai ini takut dengan calon independen," kata Jimly.
Mantan Ketua MK itu menekankan, sebuah kekeliruan jika partai menganggap calon independen sebagai musuh. Apabila demikian, maka partai akan mengalami kerugian, karena secara tidak langsung bakal berhadapan dengan rakyat.
Jimly menilai, seharusnya persyaratan bagi calon independen dipermudah, karena calon independen adalah solusi dari keberadaan calon tunggal yang sempat menjadi masalah pada pilkada serentak 2015.
Menurut Jimly, oknum calon kepala daerah yang memiliki banyak logistik, dapat membeli habis suara partai, sehingga melenggang menjadi calon tunggal.
"Itu yang menimbulkan masalah tempo hari kan, di mana partai dijadikan kendaraan politik oleh mereka yang punya uang. Nah, harusnya jangan diulangi, justru karena adanya calon independen jadi terbuka solusi untuk penyaluran aspirasi rakyat," jelas dia.
Jimly mengatakan, keputusan perundang-undangan ada di tangan kalangan DPR. Segala konsekuensi atas perumusan perundangan, kelak akan ditanggung partai bersangkutan.
"Kalau menurut saya, partai yang mempersulit calon independen akan rugi, karena menjadi tidak populer di mata rakyat. Tapi terserah saja,kan mereka yang menentukan," ujar dia.