Kabar24.com, JAKARTA - Wacana revisi Undang-undang Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang kini menjadi perdebatan di berbagai kalangan juga menuai tanggapan warga pengguna internet.
Berdasarkan situs charge.org, wadah petisi terbuka dalam jaringan atau daring (online), lebih dari 23.000 netizen menolak wacana revisi UU Pilkada. Penolakan terutama terkait konteks revisi persyaratan calon independen, yakni menaikkan persentase jumlah pendukung.
Seorang pengguna internet bernama Caesar Sutiono memulai sebuah petisi di laman Change.org. Hingga Jumat (18/3/2016) pukul 17.00 WIB, petisi berjudul “Menolak wacana revisi UU Pilkada untuk menaikkan persyaratan calon independen” itu sudah mendapatkan lebih dari 23.000 lebih dukungan tanda tangan dan terus bertambah.
Menurut Caesar, petisi ini dibuat untuk menolak wacana revisi UU Pilkada, mengingat tidak ada urgensi untuk merevisi UU tersebut.
“Sangat diharapkan Komisi II DPR dapat dengan sungguh-sungguh mendengarkan suara rakyat dan berpikir ulang mengenai wacana ini,” jelasnya seperti dikutip dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Jumat(18/3/2016).
Dalam UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, diatur syarat pengajuan calon independen pada pilkada serentak.
Calon independen atau calon perorangan paling sedikit harus mengumpulkan 6,5% sampai 10% jumlah pemilih tetap, agar dapat maju dalam pilkada.
Timbul wacana bahwa UU Pilkada ini harus direvisi, karena syarat untuk calon independen jauh dari syarat untuk partai politik (parpol).
Saat ini syarat dukungan untuk calon dari parpol naik 5% menjadi 20% dari jumlah suara. Oleh sebab itu, Komisi II DPR merasa syarat untuk calon independen juga harus dinaikkan agar berimbang.
Caesar menilai, hal menarik bahwa wacana ini timbul pada saat sedang menghangatnya Pilkada DKI Jakarta, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah memilih jalur independen untuk mencalonkan diri kembali.
Idealnya, menurut dia, wacana revisi UU Pilkada ini tidak hanya untuk kepentingan perangkap politik Pilkada DKI Jakarta, tapi lebih memikirkan kepentingan jangka panjang untuk kehidupan berdemokrasi di Indonesia.