Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alasan Kejaksaan Tak Optimal Babat Kejahatan Lingkungan

Minimnya anggaran ditengarai sebagai penyebab kurang optimalnya peran kejaksaan saat memproses peradilan terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan. Hal itu ditambah dengan pemangkasan anggaran kejaksaan pada tahun 2016.
Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung

Kabar24.com, JAKARTA - Minimnya anggaran ditengarai sebagai penyebab kurang optimalnya peran kejaksaan saat memproses peradilan terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan. Hal itu ditambah dengan pemangkasan anggaran kejaksaan pada 2016.

Data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), pada 2016 ada penurunan alokasi anggaran untuk penangananan perkara di kejaksaan dibanding tahun lalu. Pada 2015, negara mengalokasikan anggaran untuk kejaksaan untuk 100.000 lebih perkara. Sedangkan tahun ini, anggaran menurun drastis hanya sekitar 39.514 perkara.

"Postur anggaran yang minim itu membuat kinerja kejaksaan tak optimal. Saya pernah terlibat dalam sebuah tim untuk menyelidiki penyebab kejahatan lingkungan terutama kebakaran lahan," ujar Yunus Husein, mantan Staf Ahli Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dalam dikusi di Kantor YLBHI, Minggu (13/3/2016).

Menurut dia, penanganan perkara lingkungan memerlukan waktu dan biaya cukup besar. Karena tak jarang kejaksaan harus mendatangkan ahli berkompeten untuk meneliti lokasi daerah yang menjadi korban kejahatan lingkungan. Pernah suatu kali, untuk memastikan penyebab kebakaran lahan, mereka harus mengirimkan sampel hingga ke Singapura.

"Pengiriman sample ke sana juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Belum lagi ahli yang harus dihadirkan untuk meneliti, semuanya memerlukan anggaran," ucap pria yang saat ini menjadi anggota Satgas Ilegal Fishing.

Lemahnya anggaran tersebut juga acap kali menyulitkan kejaksaan saat menghadapi korporasi besar di dalam persidangan. Dalam sebuah peradilan, kooporasi besar bisa membayar saksi ahli dengan nominal yang tinggi. Sedangkan kejaksaan, biaya yang dikeluarkan harus sesuai dengan post anggaran.

"Nah ini ironinya, ketidakseimbangan tersebut sangat terasa dalam proses peradilan," ungkap dia.

Yunus berharap pemerintah perlu melihat kondisi tersebut. Paling tidak, negara harus menaikkan besaran anggaran yang dialokasikan ke kejaksaan. Jangan sampai, karena minimnya anggaran, posisi mereka lemah saat menghadapi kasus yang berkaitan dengan lingkungan seperti illegal loging, illegal fishing, dan kejahatan lingkungan lainnya.

"Kalau pemerintah memang konsentrasi untuk memberantas mafia di bidang sumber daya alam penguatan kinerja kejaksaan bisa dilakukan dengan menyesuaikan postur anggaran dengan boaya perkara yang mereka tangani. Jangan sampai kasus illegal loging disamakan dengan maling ayam," imbuh dia.

Sementara itu, Dio Ashar peneliti MAPPI menyatakan saat ini alokasi anggaran untuk penanganan perkara di kejaksaan hanya senilai Rp3,3 juta. Angka ini terlalu kecil untuk mengungkap kasus-kasus terutama yang berkaitan dengan kasus kejahatan lingkungan.

Dia mencatat kebutuhan anggaran bagi jaksa untuk menyelesaikan perkara umum di Kejaksaan Negeri saja idealnya Rp8 juta. Nilai itu juga harus dibedakan berdasarkan wilayahnya misalnya di wlayah Indonesia Timur seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur paling tidak memerlukan biaya lebih untuk menyelesaikan perkara.

"Jenis transportasinya beda, mereka ada yang memakai moda transportasi laut atau udara untuk keperluan mendatangkan saksi. Karena itu perlu dipertimbangkan pembagian anggaran berdasakan wilayah," ujar dia.

Karena itu, dia merekomendasikan kepada pemerintah untuk membuat klasifikasi perkara berdasakan kebutuhan anggaran. Menaikkan batasan minimal anggaran, karena jangan sampai kasus kejahatan lingkungan disamakan dengan kasus kriminal biasa.

Sementara itu, praktisi hukum dari Universitas Indonesia, Narendra Jatna menyebutkan salah satu penyebab tidak optimalnya peran kejaksaan yakni statusnya yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa.

Kondisi tersebut, membuat anggaran yang diperoleh oleh kejaksaan relatif kecil dibanding kepolisian dan aparatur penegak hukum lainnya. Padahal, dari sisi cakupannya, kejaksaan mencakup banyak wilayah.

Masalah itu makin kompleks dengan kebijakan negara yang memangkas anggaran untuk kejaksaan. Hal itu dia lihat sebagai langkah yang menghambat penegakan hukum oleh lembaga adiyaksa tersebut.

Narendra Jatna mengetengarai pemangkasan itu hanya didasarkan pada kemampuan serapan anggaran yang dilakukan oleh kejaksaan. Ukuran itu sangat tidak pas, karena hal itu tidak bisa menjelaskan secara keseluruhan kinerja dari kejasakaan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper