Kabar24.com, JAKARTA - Selain saksi, korban teror dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan memadai dan diatur dalam undang-undang.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengharapkan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga turut mengatur berbagai hal tentang perlindungan korban teror.
Wakil Ketua LPSK Askari Rizal di Jakarta, Selasa (8/3/2016), mengatakan lembaganya masih menemui beberapa kendala dalam memberikan perlindungan terhadap korban terorisme.
Kendala tersebut seperti sulitnya menjalin kerja sama dengan lembaga negara lain dalam pemberian bantuan psikososial, dan sulitnya mendapat surat keterangan seseorang sebagai korban terorisme.
"Padahal, dokumen tersebut sangat penting untuk keabsahan pengeluaran anggaran LPSK untuk membiayai bantuan medis, psikologis, dan psikososial bagi korban," jelas Askari.
Askari berharap rancangan revisi UU Antiterorisme dapat menjawab masalah-masalah yang ditemui oleh LPSK di lapangan pada saat memberikan bantuan kepada para korban.
Sementara itu Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengungkapkan sejumlah hal terkait perlindungan korban terorisme belum diatur dalam undang-undang.
Ia menuturkan UU yang ada sekarang hanya mengatur tentang kompensasi dan restitusi korban dan ahli warisnya.
Sedangkan pemulihan kondisi fisik, kondisi psikologis akibat peristiwa terorisme yang dialami oleh korban belum diatur dalam undang-undang.
"Tidak hanya pengobatan medis, sebagian dari korban juga masih mengalami trauma dan masih membutuhkan konseling psikologis untuk kelanjutan kehidupan mereka sehari-hari," kata Edwin.